Rabu, 10 Juni 2009

BAB I
PENDAHULUAN

A. SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI SUMATERA
Masuknya islam ke berbagai wilayah di Indonesia, khususnya di wilayah Sumatera tidak berada dalam satu waktu yang bersamaan namun berada dalam satu kesatuan proses sejarah yang panjang.
Kesultanan dan wilayah islamisasi itupun berada dalam situasi politik dan kondisi social budaya yang beragam.
Mengenai tempat asal datangnya Islam ke Indonesia, setidaknya ada tiga teori besar. Pertama teori yang menyatakan bahwa Islam langsung datang dari Arab (Hadramaut). Teori kedua menyatakan bahwa Islam datang dari India, yakni dari Gujarat dan Malabar. Sementara teori ketiga menyatakan bahwa islam datang dari Benggali (kini Bangladesh).[1]

Namun dalam penyebaran ataupun persinggahan pertama dari para penyebar islam itu sedikit dapat dipastikan yaitu melalui jalur laut, yaitu perdagangan di selat malaka yang telah ramai sebagai jalur perdagangan sejak masa Kesultanan Sriwijaya pada sekitar Abad ke-7 dan ke-8 M, selat malaka mulai dilalui pedagang-pedagang muslim yang pelayarannya ke negeri-negeri Asia Tenggara dan Asia Timur. Berdasarkan berita China pada masa penguasa T’ang, pada masa itu diduga keras masyarakat muslim telah ada, baik di Kanfu (Kanton) maupun di daerah sumatera sendiri. Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat internasional antara Negara-negara Asia bangian barat dan timur mungkin disebabkan oleh kegiatan kesultanan islam di bawah Bani Umayah di bagian barat maupun Kesultanan China pada masa T’ang di asia timur serta Kesultanan sriwijaya di Asia Tenggara.
Peran Sumatera sebagai bagian dari rute perdagangan internasional pada saatitu semakin menonjol, saat Malaka dikuasai oleh Portugis pada 1511, membuat para saudagar muslim yang biasa berdagang melalui rute Laut Jawa-Selat Karimata-Malaka, pinsh melalui selat Sunda-menyusuri pantai barat sumatera hingga ke Aceh.
Menilik dari jalur perdagangan yang terkenal pada saat itu, maka bisa disebut apabila, singgahnya Islam melalui para pedagang adalah di daerah Sumatera dan secara luasnya di semenanjung malaka. Berdirinya kesultanan Perlak (sekarang Peurleuak) di Aceh timur yang berkuasa pada tahun 225-692 H/840-1292 M. Dengan raja pertamanya sultan Alaidin Syed Maulana abdul Aziz Shah (225-249 H/840-864 M) Hal ini sesuai dengan berita marcopolo pada 1292 yang menyebutkan bahwa di sumatera terbagi delapan buah kesultanan yang semuanya menyembah berhala kecuali satu saja, yaitu Perlak yang berpegang pada Islam. Hal ini karena ia selalu didatangi pedagang-pedagang Saracen (muslim) yang menjadikan penduduk Bandar ini memeluk undang-undang Muhammad (undang-undang Islam).[2]
Kemudian disusul dengan kesultanan Samudera Pasai, berdasarkan nisan Kubur Sultan Malik As-Shaleh. Data yang terkait dengan inskripsi epigrafis, adalah batu nisan Malik al Shaleh yang ditemukan dari kompleks kubur kampung Geudong, dan data yang diperoleh dari batu nisan tersebut yang digunakan sebagai data persinggahan Islam ke-dua. Inskripsi pada batu nisan selain diketahui batu nisan tersebut milik dari kubur Malik Al Shaleh, juga diketahui angka tahun wafatnya yang berangka tahun 696 H atau 1296/7 M. [3]
Data arkeologis lain yang berkaitan dengan kedatangan islam di Sumatera adalah batu nisan dari Barus Sumatera Utara. Batu nisan itu dalam Seminar Masuknya Islam di Medan merupakan suatu sorotan yang menjadi sorotan karena angka tahunnya yang konon menunjukkan abad ke-tujuh Masehi, atau tahun-tahun pertama dari Anno Hijrah. Pembacaan yang pernah dilakukan, ketika singgah ke Medan dalam rangka penelitian Naskah Penyengat di Riau Kepuluan tahun 1995 yang lalu.[4]












BAB II
PEMBAHASAN

A. Berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam
Kesultanan Aceh Darussalam terletak di wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh besar, disana pula letak ibukota kesultanan tersebut.
Kesultanan Aceh berdiri pada abad ke-15 M, diatas puing-puing kesultanan Lamuri, olwh Muzaffar Syah (1465-1497 M). Dialah yang membangun kota Aceh Darussalam.[5] . Dimasa pemerintahannya ini mulai mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan karena saudagar muslim yang sebelumnya berdagang di dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah malaka dikuasasi Portugis (1511 M). Sebagai akibat penaklukan malaka oleh portugis, jalan dagang yang sebelumnya dari laut jawa ke utara melalui selat karimata terus ke malaka, pindah melalui selat sunda dan menyusur pantai barat sumatera, terus ke Aceh. Dengan demikian, aceh menjadi ramai dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri.[6]
Namun H. J. de Graaf berpendapat bahwa, Aceh menerima islam dari pasai yang kini menjadi bagian wilayah aceh dan pergantian agama diperkirakanterjadi mendekati pertengahan abad ke-14. Kesultanan acehmerupakan penyatuan dari dua kesultanan kecil yaitu Lamuri dan Aceh Dar Kamal, dengan raja yang pertamanya adalah Ali Mughayat Syah.
Ali Mughayat Syah meluaskan wilayah kekuasaanya ke daerah Pidie yang bekerja sama dengan Portugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. Berkat dua kemenangan ini, aceh selanjutnya mampu meluaskan wilayah kekuasaannya ke sumatera timur. Untuk mengatur daerah sumatera Timur, raja aceh mengirim panglima-panglimanya, salah saerang di antaranya adalah Gocah, pahlawan yang menurunkan sultan deli dan Serdang.[7]
Secara politis kekuasaan Aceh sangat besar, diantaranya adalah menjalin hubungan persahabatan dengan kesultanan turki usmani dan negeri-negeri islam lainnya di Indonesia. Hubungan yang dijalin ini salah satunya adalah untuk membendung serangan dari pasukan Portugasi yang pada saat itu telah menguasai Malaka dan ingin melebarkan wilayahnya hingga ke Aceh. Sultan aceh yang menjalin hubungan dengan Turki Usmani ini adalah Sultan Alaudin Riayat Syah yang bergelar Al-Qahar. Dengan bantuan turki usmani ini, aceh dapat membangun angkatan perangnya dengan baik. Kosekuensi dari hubungan ini adalah pengakuan kedaulatan oleh aceh terhadap kekuasaan kekhalifahan dalam dunia islam dengan turki usmanis ebagai pemegang tampuk kekhalifahan.
Kuatnya Aceh secara politis ini berlanjut hingga dua abad kemudian ketika Inggris dan Belanda mengadakan dua kali perjanjian yaitu Konvensi London (1814 M) yang berintikan pembagian wilayah kekuasaan kedua Negara tersebut dan Traktat London (1824 M) yang salah satu isinya adalah wilayah aceh menjaid wilayah trankit yang tidak boleh diduduki baik oleh inggris maupun belanda. Ini menunjukkan bahwa wilayah aceh adalah wilayah yang tidak boleh dikuasai dan menjadi wilayah yang merdeka tanpa pengaruh yang signifikan dari bangsa eropa.
Puncak kekuasaan kesultanan Aceh terletak oada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637 M). Pada masanya aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir timur dan baratsumatera. Dari aceh, tanah gayo yang berbatasan diislamkan, juga minangkabau. Hanya orang-orang kafir batak yang berusaha menangkis kekuatan-kekuatan islam yang dating dengan cara meminta bantuan kepada portugis. Namun dalam tujuannya mengusir portugis, Sultan Iskandar Muda justru meminta bantuan keapda Belanda dan Inggris yang pada saat itu menjadi musuh portugis.
Pengganti dari Iskandar Muda adalah Sultan Iskandar Tsani (1636-1641 M), yang memiliki watak liberal, lembut dan adil.
Dibawah kekuasaanya aceh masih menikmati masa kejayaannya. Perkembangan agama maju pesat, terutama perkembangan tarekat seperti tasawuf yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri.
Namun seiring dengan kematian sultan tersebut, antara 1641-1699, kesultanan aceh dipimpin oleh penguasa perempuan, ini mengakibatkan kekuasaan kesultanan aceh menjadi meleha. Banyak wilayahnya yang lepas dan kesultanan menjadi terpecah belah. Pemulihan kembali kesultanan tidak banyak bermanfaat, sehingga pada abad ke-18 kesultanan aceh hanya efektif di wilayah kebaupaten aceh besar dan sekitarnya. Namun demikian karena kuatnya pendirian rakyat aceh, meskipun keadaanya kacau balau sekalipun, para penguasa kolonial tidak mampu untuk menguasai kesultanan aceh secara menyeluruh.
Meski demikian, selalu ada usaha perlawanan untuk mengusir koloniald dari bumi sumatera khusunya wilayah aceh yang dikuasai, setelah sebelumnya berhasil mengusir portugis pada sekitar abad ke-17 maka rakyat aceh mengadakan usaha perlawanan untuk membebaskan diri dari pengaruh belanda. Akan tetapi usaha-usaha yang dirintis seperti oleh Teuku Umar, Panglima Polim maupun Cut Nyak Dien mengalami kegagalan disebabkan antara lain:
1. Belanda dilengkapi dengan organisasi persenjataan modern sementara kesultanan aceh memakai persenjataan tradisional,
2. Penduduk Indonesia umumnya sangat bergantung pada pemimpin yang kharismatik, maka tak heran jiak misalnya saat Cut Nyak Dien dibuang oleh belanda, maka perlawanan rakyat aceh sedikit demi sedikit menyurut
3. Kurangnya koordinasi dengan kesultanan islam lainnya dalam melawan belanda yang diakibatkan oleh politik devide et impera (politik adu domba).
Namun memang demikianlah perjuangan rakyat aceh, tidak sia-sia, karena belanda gagal menguasai wilayah serambi mekah tersebutsecara signifikan.
B. Sultan dan Sulthanah di Kesultanan Aceh Darussalam
Satu hal yang menarik dari kesultanan aceh ini adalah fakta bahwa tidak hanya kaum laki-laki yang menjadi penguasa kesultanan, namun ada pula kaum wanita yang mampu memimpin Kesultanan Aceh. Hanya saja, keberadaan Sulthanah-sulthanah dalam kesultanan Aceh ini disebut-sebut sebagai titik kemunduran Kesultanan Aceh. Berikut adah para sultan dan sulthanah yang pernah memerintah Kesultanan Aceh:
Sultan aceh
Dinasti Makota Alam
1. Sultan Ali Mughayat Syah 1496-1528
2. Sultan Salahuddin 1528 -1537
3. Sultan Alauddin al-Qahhar 1537-1568
4. Sultan Husain Ali Riayat Syah 1568 -1575
5. Sultan Muda 1575 -1579
6. Sultan Sri Alam 1575-1576
7. Sultan Zainal Abidin 1576-1577
Sultan-sultan Asing
8. Sultan Alauddin Mansur Syah bin Sultan Mansur Syah I 1577 -1589
9. Sultan Buyong 1589-1596
Dinasti Darul-Kamal
10. Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil 1596-1604
11. Sultan Ali Riayat Syah 1604-1607
Sultan Aceh peleburan dari Dinasti Makota Alam dan Dinasti Darul-Kamal
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam 1607-27 Desember 1636
Sultan asing
13. Sultan Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah 1636-15 Februari 1641
Sultanah Aceh
14. Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam 1641-1675
15. Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam 1675-1678
16. Sri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah 1678-1688
17. Sri Ratu Zainatuddin Kamalat Syah 1688-1699
Sultan-sultan Aceh
18. Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin 1699-1702
19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui 1702-1703
20. Sultan Jamalul Alam Badrul Munir 1703-1726
21. Sultan Jauharul Alam Aminuddin 1726
22. Sultan Syamsul Alam 1726-1727
Sultan Aceh keturunan Bugis
23. Sultan Alauddin Ahmad Syah 1727-1735
24. Sultan Alauddin Johan Syah 1735-1760
25. Sultan Mahmud Syah 1760-1764
26. Sultan Badruddin Johan Syah 1764-1765
27. Sultan Mahmud Syah 1765-1773
28. Sultan Sulaiman Syah 1773
29. Sultan Mahmud Syah 1773-1781
30. Alauddin Muhammad Syah 1781-1795
31. Sultan Alauddin Jauhar al-Alam 1795-1823
32. Sultan Syarif Saif al-Alam 1815-1820
33. Sultan Alauddin Jauhar al-Alam 1795-1823
34. Sultan Muhammad Syah 1823-1838
35. Sultan Sulaiman Syah 1838-1857
36. Sultan Mansur Syah 1857-1870
37. Sultan Mahmud Syah 1870-1874
38. Sultan Muhammad Daud Syah 1874-1903
C. Perang Aceh
Untuk perang aceh ini penulis mengambil sumber dari situs pendidikan Wikipedia.org, isinya antara lain[8]:
Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:
Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Sinagpura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
Di bukanya terusan Suez oleh Ferdinand de Lessep. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Nieuwenhuyzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dengan 3.000 serdadu yang dipimpin Mayor Jenderal Köhler dikirimkan pada tahun 1874, namun dikalahkan tentara Aceh, di bawah pimpinan Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah, yang telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil dibunuh pada tanggal 10 April 1873.
Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal van Swieten berhasil merebut istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawot yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri. Pada 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang telah berakhir. Bagaimanapun, perang dilanjutkan secara gerilya dan perang fi'sabilillah dikobarkan, di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Kekaisaran Ottoman. Namun Kekaisaran Ottoman kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania yang sedang ditawan di salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, Weitzel, kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat, di antaranya Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima prang besar dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya' Dien istri Teuku Ummar siap tampil menjadi komandan perang gerilya.
Pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. Snoeck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh ( De Acehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Isi nasehat Snouck Hurgronye kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh adalah:
Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) beserta pengikutnya.
Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
Jangan mau berunding dengan para pimpinan gerilya.
Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Pada tahun 1898, J.B. van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh pada 1898-1904, kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehatnya, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri Belanda), merebut sebagian besar Aceh.
Sultan M. Daud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Istana Kesultanan Aceh kemudian di luluhlantakkan dan diganti dengan bangunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernur. Pada tahun tersebut, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.
Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan marsuse yang dipimpin oleh Christoffel dengan pasukan Colone Macannya yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.
Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga Gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van Der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van Der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan senjata dan menyerah ke Lo' Seumawe (1903). Akibat Panglima Polem menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.
Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan dibawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan.
Taktik terakhir menangkap Cut Nya' Dien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya' Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat.
D. Peninggalan Kebudayaan Kesultanan Aceh Darussalam
1. Mesjid Raya Baiturrahman
Mesjid Raya Baiturrahman merupakan mesjid yang terbesar dan termegah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Mesjid ini mempunyai arsitektur yang indah dan terletak di pusat kota. Mesjid Raya Baiturrahman tidak sekedar berfungsi sebagai sebuah tempat religius semata, tetapi juga mempunyai makna yang mendalam bagi masyrakat Aceh berkaitan dengan sejarah pendudukan Belanda di daerah ini. Ketika Belanda belum menduduki Aceh, mesjid ini dipergunakan oleh pejuang-pejuang Aceh sebagai markas pertahanan mereka.
Sebelum wujudnya yang seperti sekarang, beberapa tulisan tentang sejarah mesjid raya Baiturrahaman menyebutkan bahwa mesjid ini mulai dibangun pada masa Kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Namun ada pula yang mensinyalir bahwa mesjid ini dibangun pertama kali pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah pada tahun 1292 (621H). Perluasan mesjid juga dilakukan kembali pada masa pemerintahan Nakiatuddin Khinayat Syah pada tahun 1675 - 1678 M.
Saat ini, tepat di depan mesjid ini terdapat Menara Tugu Modal. Menara/Tugu modal merupakan sebuah menara sebagai monumen bahwa Aceh pernah dinyatakan sebagai Daerah Modal di dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Menara terdiri dari enam lantai yang dapat dicapai melalui lift maupun tangga biasa. 2. Taman Sari Gunongan
Salah satu benda peninggalan budaya yang bernilai sejarah dan masih dapat kita saksikan dalam keadaan utuh adalah Gunongan lengkap dengan taman sarinya. Gunongan ini terletak di pusat kota Banda Aceh, tepatnya berada di Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Baiturahman, Kota Banda Aceh. Lokasi ini dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan bermotor atau labi-labi melalui jalan Teuku Umar. Taman Sari Gunongan merupakan salah satu peninggalan kejayaan Kesultanan Aceh, setelah kraton (dalam) tidak terselamatkan karena Belanda menyerbu Aceh.
Gunongan dibangun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang memerintah tahun 1607-1636. Sultan Iskandar Muda berhasil menaklukkan Kesultanan Johor dan Kesultanan Pahang di Semenanjung Malaka. Putri boyongan dari Pahang yang sangat cantik parasnya dan halus budi bahasanya membuat Sultan Iskandar Muda jatuh cinta dan menjadikannya sebagai permaisuri. Demi cintanya yang sangat besar, Sultan Iskandar Muda bersedia memenuhi permintaan permaisurinya untuk membangun sebuah taman sari yang sangat indah, lengkap dengan Gunongan sebagai tempat untuk menghibur diri agar kerinduan sang permaisuri pada suasana pegunungan ditempat asalnya terpenuhi. Selain sebagai tempat bercengkrama, Gunongan juga digunakan sebagai tempat berganti pakaian permaisuri setelah mandi di sungai Isyiki yang mengalir di tengah-tengah istanaGunongan adalah bagian dari suatu kompleks yang lebih luas, Taman Ghairah, yang merupakan bagian dari taman istana. Di kompleks ini sekarang hanya tersisa empat buah bangunan; Gunongan itu sendiri, leusong (lesung batu) terletak di kaki Gunongan, agak di bagian Tenggara; kandang sebuah bangunan empat persegi di bagian utara di arah timur laut sepanjang sungai Krueng Daroy, dan Pinto Khop adalah sebuah pintu gerbang berbentuk kubah yang dulunya menghadap istana dan menghubungkan taman dengan alun-alun istana. Hanya anggota keluarga istana Kesultanan yang diizinkan melewati pintu gerbang ini.







BAB III
PENUTUP
Kesultanan Aceh merupakan penerus dari Kerajaan Samudera Pasai yang dihancurkan oleh Kerajaan Majapahit dibawah Gajah Mada pad 1430 M.
Kesultanan ini tampil sebagai penguasa dari wilayah sumatera dan sangat dominan terutama pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda dan Sultan Iskandar Tsani, pasca keduanya, kesultanan aceh banyak mengalami kemunduran terutama ketika dipimpin oleh wanita-wanita selama empat periode.
Namun demikian, diakui bahwa kesultanan aceh khususnya wilayah aceh adalah wilayah yang tidak mampu dikuasai oleh kolonial secara penuh. PErlawanan demi perlawanan yang dilancarkan oleh rakyat aceh terutama khusunya dalam perang aceh benar-benar menguras tenaga pihak kolonial hingga pada akhir kekuasaan Belanda di Indonesia, tidak mampu menguasai seluruh wilayah aceh.
Demikian pula peninggalan kebudayaan Kesultanan ini diantaranya Mesjid Raya Baiturrahman dan Taman Sari Gunongan dan juga istana kesultanan adalah bukti bahwa Kesultanan Aceh pernah memiliki peradaban kebudayaan yang cukup tinggi yang ditunjang penguasaan ekonomi internasioal pada saat itu. Satu hal yang hingga kini belum mampu untuk diulangi kembali.









DAFTAR PUSTAKA
Ajid Thohir. 2004. PERKEMBANGAN PERADABAN DI KAWASAN DUNIA ISLAM Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Dedi Supriyadi M. Ag. 2008. SEJARAH PERADABAN ISLAM. Bandung: Pustaka setia.
Ajid Thohir. 2002. Gerakan Politik Kaum Tarekat. Bandung: Pustaka Hidayah.
Siti Maryam dkk. 2002. Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: Fak. Adab
Marwati Djoened Poesponegoro. Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Dr. Badri Yatim, M. A. 2007. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
A. Hasymy(Ed). 1989. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. PT Almaarif.
Kholid O. Santosa (Ed). 2007. Islam Menjadi Kuda Tunggangan, Sisi Gelap Pergerakan Islam di Indonesia.Bandung: Sega Arsy
Ahmad Cholid Sodrie. Makalah “Filologi Sumber dataKajian Arkeologi Sejarah.”
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Aceh#













[1] Adjid Thohir. Perkembangan Peradaban di Kawasa dunia Islam Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan budaya umat Islam. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada. 2004. Hlm. 260.
[2] Dedi supriyadi M. Ag. Sejarah Peradaban Islam. Bandung. Pustaka Setia. 2008. hlm:194.
[3] Ahmad Cholid Sodrie. Makalah “Filologi Sumber dataKajian Arkeologi Sejarah.” Hlm. 12
[4] Ahmad Cholid Sodrie. Ibid. Hlm. 16
[5] Anas Machmud. “Turun Naiknya Peranan Kesultanan Aceh Darussalam di Pesisir Timur Pulau Sumatera”, dalam A. Hasymy(ed). Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. PT Almaarif. 1989, hlm. 286
[6] Dr. Badri yatim, M.A. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007, hlm. 209.
[7] Anas Machmud. Op. cit. , hlm. 290.
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Aceh#

2 komentar:

  1. bagus kang, lalu adakah hubungan islam di nusantara dengan kekhilafahan? sbgmna saya kutip di fb bahwa walisongo/penyebar Islam di nusantara adl dai' utusan pr khalifah

    BalasHapus
  2. prestasinya pa yha,, kerajaan aceh thu

    BalasHapus