Jumat, 05 April 2013


Oleh: HD Gumilang*
Diterbitkan pada harian Radar Cianjur, Senin 23 Maret 2013/ 13 Jumadil Awal 1434 H

Negara Madinah, adalah pemerintahan yang digagas oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Negara Madinah bukan hanya merupakan negara Islam, melainkan menjadi sebuah negara yang menaungi heterogenitas agama bagi pemeluk-pemeluknya yang menjadi warga negara Madinah [Islam, Nasrani, dan Yahudi]. Agama tidak membutuhkan negara karena Agama akan senatiasa lestari dalam setiap kehidupan pemeluk-pemeluknya, tapi negara-lah yang membutuhkan agama untuk me-moral-kan [membina akhlaq] masyarakatnya. Sungguh kelam jika sebuah negara tanpa agama, maka akan tergambarkan sifat barbar yang tidak manusiawi.

Prinsip-prinsip Islam yang mulia tertuang jelas yang diformulasikan dalam Piagam Madinah. Demikian juga syura [musyawarah] dijunjung tinggi dalam upayanya menggali ketentuan hukum yang berhubungan dengan interaksi sosial masyarakat. Hukum Islam berlaku bagi pemeluk-pemeluknya, kaum muslimin. Begitupun pemeluk agama lain, mereka bebas menjalankan ritual keagamaan sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya, tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Semua masyarakat hidup dalam naungan ke-universal-an ajaran Islam bagi semesta alam. Toleransi dijaga, sehingga tidak saling mengganggu karena mereka semua cenderung kepada perdamaian. Sedangkan bagi para penganggu, tidak ada tempat bagi mereka selain harus di usir dari negara Madinah. Hingga pada akhirnya, atas kehendak Allah -sampai hari ini-, Madinah [bersama Makkah] menjadi dua kota yang terlarang dimasuki oleh non muslim. Lantas apakah dengan begitu hidup negara Madinah menjadi semu? Lantas dengan terusirnya kaum non-muslim itu menandakan Islam membenci mereka yang di usir? Tentu saja tidak seperti itu. Islam cinta damai. Islam tidak akan memerangi mereka -non muslim- yang cenderung pada perdamaian. Islam hanya memerangi mereka -non muslim- yang memerangi agama Islam. Dan itulah kenyataan sejarah yang terjadi dalam perang Khandaq ketika pasukan multinasional [Quraisy, Yahudi, dan Nasrani] mengepung Madinah dengan tujuan memerangi Islam.
Kemudian, ketika baginda tercinta, Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wasallam wafat, meninggalkan umat di tangan pengganti-penggantinya.

Atas kesepakatan bersama [secara aklamasi] lewat usul sahabat Umar bin Khaththab al Faruq ra., diangkatlah sahabat Abu bakar as shiddiq ra., sebagai penerus kepemimpinan umat Islam khususnya dan warga negara Madinah pada umumnya. Maka, dimulailah kepemimpinan khulafaur rasyidin. Sebuah periode dimana masih dihayatinya jiwa kenabian. Abu Bakar disebut sebagai khalifah: pemimpin pengganti Rasulullah.
Lalu, ketika Abu bakar wafat, ditunjuklah oleh sahabat terbaik Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ini seorang yang memiliki kepribadian keras dalam agama namun lemah lembut dalam ukhuwah, Umar bin Khaththab. Di masa inilah, syiar dakwah Islam mulai menyinari jazirah Arab. Negara Madinah mulai meluas. Tidak lagi hanya menaungi umat Islam, namun juga umat agama lain sebagaimana dahulu Rasulullah contohkan dalam tata Negara Madinah, ketika Islam menjadi rahmat bagi semesta alam. Umar menolak sebutan Khalifah bagi dirinya, dia menyebut dirinya sebagai Amirul Mukminin: pemimpin kaum muslimin.
Peristiwa penikaman Umar ketika selesai shalat, menandakan fase yang dinamakan konspirasi sejarah. Kebencian sebagian orang yang telah membatu hatinya menimbulkan riak-riak kegaduhan politik. Menjelang detik-detik wafatnya, Umar menolak untuk menunjuk siapa khalifah penggantinya walapun dulu beliau ditunjuk langsung oleh Abu Bakar. Hal ini mengisyaratkan bahwa pemilihan seorang pemimpin tidaklah kaku melainkan ada ijtihad untuk meng-inovasi-kannya sesuai dengan keadaan zaman. Umar bahkan mewasiatkan agar putranya, Abdullah bin Umar ra., dan adik iparnya yaitu Said bin Zaid tidak diberikan jabatan apapun karena, "Dia masih keluarga Umar." Sebuah keteladanan politik yang agung dalam mencegah munculnya suatu dinasti politik.
Maka, dikumpulkanlah enam orang yang telah diridhai Rasulullah shallahu alaihi wasallam ketika hidupnya: Utsman bin Affan ra., Ali bin Abi Thalib ra., Thalhah bin Ubaidillah ra., Azzubair bin Awwam ra., Sa'ad bin Abi Waqqash ra., dan Abdurrahman bin Auf ra,. Hingga akhirnya dalam mekanisme syura [musyarawah] tersebut terpilihlah Utsman bin Affan Dzunnurain untuk menjadi kepala Negara memimpin umat dan menandakan sebuah zaman baru ketika jiwa kenabian masih dihayati namun di waktu yang sama kehidupan umat Islam di Negara Madinah telah semakin luas interaksi, adat istiadat, kebudayaan, dengan Negara-negara lainnya. Pengaruh zaman itu adalah, interaksi dengan era Imperium Kerajaan yaitu Romawi dan Persia. Maka, diplomasi politik menjadi sesuatu yang lazim dalam pemerintahan ini.
Namun, kepemimpinan Utsman rupanya ada sebagian kalangan yang tidak setuju, maka turunlah mereka ke jalan -para oposisi utsman-, mereka melakukan demonstrasi dengan tuduhan, “Utsman membakar mushaf, tidak mengqashar shalat di Makkah, mengkhususkan sumber air untuk kepentingannya sendiri, mengangkat para pemuda sebagai pejabat, mengutamakan bani Umayyah dalam fasilitas pada pemerintahannya,” meskipun Ali bin Abi Thalib membela mati-matian Utsman, tetap saja para demonstran itu menyerukan tuntutan-tuntutannya.
Ali menyarankan Utsman melakukan komunikasi politik dengan rakyat. Maka diselenggarakanlah rapat akbar sesuai saran Ali di mana Utsman meminta maaf di hadapan rakyat yang dipimpinnya itu ata segala perbuatannya dalam mengutamakan kedudukan keluarganya dan mengemukakan alasannya. Sungguh sebuah tindakan yang arif dan bijaksana. Namun ternyata, beberapa waktu setelah itu muncul black campaign berupa disebarkannya selembaran-selembaran fitnah yang tujuannya menghasut rakyat agar melakukan kudeta terhadap Utsman bahkan menuntut hamba Allah yang memperistri dua putri Rasulullah ini untuk dibunuh. Naudzubillah.
Mereka menganiaya Utsman, mengasingkan Utsman di rumahnya sampai pada waktu wafatnya. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Ditengah huru-hara politik yang memuncak itu, naiklah Ali bin Abi Thalib Kharamallahu Wajhahu atas desakan rakyat. Keponakan Rasulullah ini menghadapi sebuah fase pemerintahan yang sangat kritis dan sulit. Kegaduhan politik semakin rumit. Rakyat Irak, Syam, Makkah, Madinah, dan negeri-negeri lain mulai terpecah belah karena isu-isu yang simpang siur. Bahkan, para sahabat Rasulullah yang tersisa sampai terjebak hasutan tersebut.
Manakala Ali diturunkan dari kedudukannya sebagai kepala Negara, dan dinaikkannya Muawiyyah bin Abi Sofyan sebagai kepala Negara, terlepas dari berbagai konstelasi politik yang terjadi pada saat itu, diantaranya adalah naiknya Hasan sebagai pengganti Ali maka periode kepemimpinan Muawiyyah menandakan sebuah fase baru dalam sejarah ke-pemerintah-an Islam, yaitu fase Kerajaan.


*Penulis seorang peminat sejarah lulusan UIN Sunan Gunung Djati Bandung jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, tinggal di Tungturunan Ciranjang, Cianjur.


0 komentar:

Posting Komentar