Rabu, 10 Juni 2009

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Situs Cangkuang yang meliputi Candi Cangkuang, Kuburan Dalem Arif Muhammad, dan Kampung Pulo sebagai suatu kampong adat, merupakan salah satu situs kepurbalakaan yang menarik untuk diteliti, sebabnya adalah belum banyaknya rahasia-rahasia dari ketiga situ situ yang belum terungkap.
Candi Cangkuang yang dianggap sebagai penemuan candi pertama di Jawa Barat masih menyisakan banyak misteri, terutama mengenai siapa yang membangun candi yang bercorak Hindu Siwa tersebut.
Demikian juga dengan keberadaan kuburan Arif Muhammad dan Kampung Pulo yang keduanya saling berkaitan satu sama lain masih menyumpan banyak pertanyaan yang seyogyanya menjadi tantangan bagi para sejarawan maupun calon sejarawan untuk bias menjawabnya.
Berangkat dari hal di atas, penulis mencoba untuk memberanikan diri membuat suatu makalah sederhana yang memiliki sangkut pautnya dengan keberadaan ketiga situe purbakala tersebut.


Rumusan Masalah
Dalam makalah yang penulis susun, mengingat keterbatasan sumber yang penulis peroleh maka rancangan rumusan masalah yang hendak penulis paparkan adalah sebagai berikut:
Kapankah Candi Cangkuang dibangun?
Adakah hubungan Candi Cangkuang dengan Kerajaan-kerajaan jaman klasik di Jawa Barat?
Siapakah sebenarnya Dalem Arif Muhammad?
Bagaimana proses kemunculan Kampung Pulo?

Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang penulis gunakan antara lain:
Studi lapangan dengan meninjau secara langsung situs yang hendak penulis paparkan yaitu Candi Cangkuang, Kuburan Dalem Arif Muhammad, dan Kampung Pulo pada tanggal 15-16 November 2008
Studi wawancara dengan tokoh masyarakat setempat diantaranya ketua adat Kampung Pulo Bapak Atang, bagian informasi situs Cangkuang Bapak Zaki Munawar, dan masyarakat sekitar yang dilakukan bersamaan dengan studi lapangan.
Studi pustaka untuk meninjau ada tidaknya hubungan situs tersebut dengan keberadaan kerajaan-kerajaan jaman klasik di jawa barat yaitu di Perpustakaan Daerah Jawa Barat terhitung selama seminggu sejak kepulangan dari Cangkuang.









BAB II
PEMBAHASAN

A. CANDI CANGKUANG
a. Selayang pandang Candi Cangkuang

Candi Cangkuang terletak di bukit Kampung Pulo, Desa agkuang Kecamatan Leles-Garut.
Baik candi maupun desa ini dinamakan Cangkuang karena berasal dari nama pohon yang banyak tumbuh di wilayah tersebut terutama di wilayah Kampung Pulo tempat dimana Dalem Arif Muhammad dimakamkan, yaitu pohon cangkuang. Pohon cangkuang ini adalah sejenis pohon pandan yang berbentuk besar, pohon ini memiliki nama latin yaitu Pandanuns Furcatus yang dapat dimanfaatkan untuk membuat tudung, tikar, dan pembungkus aren. Bahkan hasil penelitian termutakhir menyebutkan bahwa jenis pohon ini dapat dijadikan obat untuk penyakit kronis seperti kanker.
Di puncak bukit Kampung Pulo itulah kini berdiri kokoh sebuah candi yang hingga saat ini masih menyimpan berbagai misteri yang sangat menantang bagi setiap sejarawan. Berdasarkan tempat diamana candi ini ditemukan maka dinamakanlah bangunan tersebut dengan nama Candi Cangkuang.
Bermula pada tahun 1966, seorang sejarawan bernama Drs. UKa Candrasasmita menemukan dalam sebuah buku tua yang ditulis oleh Vorderman dengan judul Notule Bataviaasch Genootschap tahun 1893 yang menyebutkan bahwa di daerah Garut tepatnya di kampung pulo ditengah situ cangkuang , terdapat sebuah kuburan kuno yang bernapaskan islam. Kuburan itu adalah tempat peristirahatan terakhir tokoh setempat yang bernama Dalem Arif Muhammad. Yang membuat menarik dari catatan Vorderman ini adalah temuan bahwa ada arca siwa yang diletakkan tepat di samping kuburan tersebut. Tentu hal ini mengundang suatu keanehan, seakan adanya akulturasi antara kuburan itu (islam) dengan arca yang terdapat di sana (hindu).
Maka bersama rombongan beliau melakukan observasi didaerah tersebut. Dan akhrinya ditemukan bahwa arca tersebut memang ada di sana. Penemuan itu terjadi pada 9 desember 1966, tim sejarah leles yang diketuai oleh Prof. Harsoyo dan Drs. Uka sendiri sebagai ketua penelitian sejarah dan kepurbakalaan menemukan arca siwa tersebut dalam keadaan rusak disebuah bukit kampong pulo di desa cangkuang.
Antara tahun 1967-1968, penelitian lanjutan terhadap candi itu berhasil menemukan batu-batu candi di sekitar area kuburan hingga radius 500 meter di pemakaman umum setempat. Batu-batu tersebut banyak dimanfaatkan sebagai batu nisan pekuburan termasuk juga sebagai nisan kuburan Arif Muhammad. Maka batuan tersebut dikumpulkan, diantaranya yang terdapat di pekuburan, semak belukar dan di himpitan akar-akar pohon besar nan menjulang untuk diketahui lapisan-lapisan batuan yang bentuknya teratur itu adalah bagian dari pondasi bangunan candi.
Pemugaran Candi Cangkuang itu sendiri dilaksanakan pada tahun 1974, dengan menghadapi banyak hambatan terutama warga penghuni kampong pulo, yang merasa pemugaran candi tersebut hendak membangkitkan kembali ajaran hindu di daerah itu. Namun akhirnya masyarakat sekitar dapat diyakinkan kalau pemugaran candi tersebut bukan untuk mengembalikan ajaran hindu akan tetapi untuk pelestarian kebudayaan nasional yang dapat diambil manfaatnya oleh generasi selanjutnya.
Di dalam proses penggalian tersebut ditemukan pondasi candi yang berukuran 4,5 x 4,5 meter sekitar 2 meter dari letak kuburan Dalem Arif Muhammad. Sayangnya batuan yang dapat dikumpulkan hanya sekitar 40% dari keseluruhan candi. Namun jumlah itu dapat mewakili pondasi bangunan dari mulai bagian bawah, tengah dan atas.
Maka untuk menutupi kekurangan yang 60% itu tim pemugaran dari purbakala membuat batuan tiruan yang terbuat dari bahan pasir, semen dan besi. Karena batuan yang digunakan untuk candi berbahan batuan andesit.[1]
Setelah beberapa kali percobaan untuk merekonstruksi bangunan candi, maka akhirnya terbentuklah pondasi candi yang seperti sekarang. Bangunan candi itu diresmikan pada 8 desember 1976 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, yaitu Prof. Dr. Syarief Thayeb.


Adapun ukuran remi dari bangunan itu beserta beberapa bagiannya adalah:
Tinggi : 8 M
Pondasi Candi : 4,5 x 4,5 M
Ruangan : 1,5 x 1, 5 x 2 M
Ukuran Kalamakara : 60 cm
Lebar pintu : 1, 73 M
Jumlah stupa : 25 buah
Jumlah Panel : 49 buah
Jumlah anak tangga : 9 buah
Jenis bahan batuan : batu andessit
Refief : tidak ada

Selain keberadaan candi cangkuang tersebut tepat di tengah ruangan candi terdapat sebuah arca, yaitu arca siwa berkendara Nandi. Dari sini sedikitnya dapat diambil kesimpulan apabila agama yang dianut oleh masyarakat pada abad ke VIII berdasarkan hitungan arkeometrik tentang usia candi adalah beragama hindu bermadzhabkan siwa. Arca itu sendiri memiliki ketinggian 40 cm, namun setelah alas kaki dari arca tersebut di semen agar menyatu dengan lantai ruangan, maka tinggi arca karena alas an semen itu menjadi sekitar 60 cm. Di bawah arca tersebut terdapat sebuat sumur dengan kedalaman antara 5-7 m. Sumur tersebut sebagaimana halnya fungsi candi-candi pada jaman dahulu adalah untuk menguburkan abu jenazah pembesar kerajaan. Sayangnya arca yang juga berbahan baku batuan andesit itu kini sudah sedikit rusak, terhitung empat kali sejak pemugaran pernah patah bahkan mengakibatkan kedua lengan arca yang patah hilang tanpa jejak.
Maka untuk menghindari terulangnya kejadian tersebut, pada 1999 mulai digunakann jeruji besi di pintu masuk sehingga orang tidak lagi bias masuk keruangan Candi Cangkuang pun untuk menyentuh arca tersebut. Ini menjadikan candi cangkuang sebagai satu-satunya bangunan candi yang memiliki jeruji besi.

b. Candi Cangkuang dan Kerajaan Klasik di Jawa Barat
Beda halnya dengan fungsi candi di negeri asalnya yaitu India, maka candi-candi di Indonesia, tidak hanya befungsi sebagai tempat ibadah melainkan juga sebagai tempat pemakaman penguasa kerajaan dan juga sebagai tanda batas wilayah.

Candi-candi Hindu di Indonesia, memiliki kriteria seperti yang disebutkan di atas. Candi Singosari, Candi Prambanan, Candi Mendut , dan candi-candi hindu lainnya hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak candi yang difungsikan sebagai tempat penguburan abu jenazah para raja/penguasa di kerajaan tersebut.
Maka ketika ditemukan sebuah sumur yang berkedalaman antara 5-7 m di tengah ruangan candi cangkuang, dapat diketahui bila candi tersebut selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat pemakaman.
Namun kini timbul pertanyaan, siapakah gerangan penguasa yang dimakamkan di Candi Cangkuang? Jika memang ada penguasa yang dimakamkan di candi itu, mengapa tidak ditemukan sumber tertulis semisal prasasti yang bias digunakan sebagai pijakan bahwa disana benar ada penguasa yang pernah dikuburkan abu jenazahnya.
Inilah misteri yang belum terpecahkan hingga saat ini. Sebuah misteri yang menantang para sejarawan untuk memencahkannya. Demikian pula, penulis tertarik untuk menuangkan buah pikiran tentang kemungkinan keterkaitan candi cangkuang dengan keberadaan kerajaan-kerajaan klasik pada saat itu. Tentu saja ini hanyalah sebuah asumsi sederhana yang setidaknya akan menambah khasanah pengetahuan tentang candi cangkuang itu sendiri.
Pada dasaranaya penulis melihat kerangka tahun drai candi tersebut berdasakan ketuaan batu andesit tersebut. Mulai dari yang menempel pada bangunan candi maupun pada pahatan arca.
Candi tersebut diperkirakan berasal dari abad ke VIII masehi dengan pertimbangan melihat ketuaan batu andesut yang menjadi bahan candi an juga tidak adanya relief dalam candi cangkuang. Intinya candi ini bentuknya masih sederhana.
Di lihat dari arca siwa yang terdapat pada bangunan itu, maka diketahui bahwa agama penduduk pada saat itu adalah agama hindu aliran siwa.
Disinilah penulis akan mulai menganalisis. Mudah-mudahan analisis penulis ini yang bersumber pada studi pustaka dan asumsi dapat memberikan suatu jalan untuk penelitian selanjutnya. Karena penulis akui juga segala sesuatu tentang analisis harus bisa dipertanggungjawabkan hasilnya.
Jika dilihat dari rangka tahun yang menunjukkan abad ke VIII, maka pada saat itu bersamaan dengan sisa-sisa kerajaan Tarumanagara yang telah diambil alih oleh Kerajaan Sunda. Namun juga bias disebut bila ibukota kerajaan Tarumanagara telah berpindah. Diantaranya di daerah Galuh. Dan Kerajaan sunda sseperti yang disebut diatas mewarisi wilayah yang dikuasai oleh Tarumanagara setelah penguasa sunda, yaitu Tarusbawa menikah dengan putrid sulung raja tarumanagara.
Selain itu keberadaan candi ini sejaman dengan masa dinasti Sanjaya di Jawa Tengah berdasarkan prasasti Canggal di Magelang yang berangka abad ke VIII.
Dengan kata lain, candi cangkuang ini memiliki hubungan antara kerajaan Galuh dan dinasti Sanjaya?
Penulis menemukan kemiripan antara isi prasasti canggal yang berasal dari abad ke VIII dengan salah satu bagian kitab Carita Parahiyangan yang berasal dari abad XVI.
Dalam prasasti canggal dikatakan Sanjaya telah menggantikan raja sebelumnya bernama Sanna. Ia mempunyai hubungan darah degan Sanna. Ia adalah anak Sannaha, saudara perempuan Sanna.[2]
Carita Parahiyangan menghubungkan tokoh Sanjaya dengan pusat kerajaa Galuh, karena di situ dkikatakan bahwa Sena berkuasa di Galuh. Agama sanjaya sendiri adalah Hindu Siwa. Sementara di Candi Cangkuang juga terdapat patung dewa siwa. Sementara sudah menjadi kebiasaan bahwa agama rakyat pada saat itu, mengikuti agama penguasa. Maka masuk akal bila agama yag dipegang oleh sanjaya bias dimanifestasikan dalam arca siwa di candi cangkuang.
Dalam naskah Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Sanjaya menyerang wilayah-wilayah di sekitar galuh. Yaitu daerah-daerah yang terletak di wilayah timur jawa batar, berbatasan denngan jawa tengah. Sanjaya sendiri menyerang wilayah timur priangan. Sementara garut dengan candi cangkuangnya tidak lain merupakan salah satu wilayah di priangan timur.
Selain itu ada kemiripan antara bentuk candi cagkuang dengan candi-candi di jawa tengah.
Candi di jawa tengah umumnya menghadap kea rah timur, memiliki relief yang natural dan agak tebal. Berbahan dasar batu andesit. Atapnya bertingkat-tingkat. Puncaknya berbentuk stupa dan umumnya candi tersebut terletak di tengah halaman.
Sifat-sifat candi jawa tengah juga dimiliki oleh candi cangkuang. Candi ini menghadap ke timur. Dinding candi tanpa relief dengan kata lain masih polos dan natural. Berbahan dasar batuan andesit. Candi tersebut berada di tengah bukit cangkuang ini dapat dianalogikan sebagai ciri terletak di tengah halaman layaknya candi-candi di jawa tengah. Memiliki atap yang bertingkat dari kaki, badan hingga kepala. Dan puncak candi teebut berbentuk stupa.
Memang masih terlalu sederhana untuk menunjukkan keterkaitan antara candi cangkuang dengan kerajaan klasik di jawa barat semisal Galuh, dinasti Sanjaya maupun keamaan arsitektur bangunan dengan candi-candi di jawa tengah. Namun setidaknya ini memberikan suatu peluang bagi sejarawan untuk mengembangkan analisis mengenai candi cangkuang tersebut.







[1] Zaki Munawar SH. Cagar Budaya Candi Cangkuang dan Sekitarnya. TT. Hlm. 21.
[2] Nugrioho Notosusanto, dkk., Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. 1993. hlm. 357.

1 komentar:

  1. hebat sungguh membuat saya penasaran tp di paragraf kedua terakhirr saya sangat mendukung bahwa candi cangkuang terletak di tengah bukit cangkuang klo menurut anda akan ada lagi halaman candi atau candi lainnya di daerah cangkuang ,...itu saya sependapat

    BalasHapus