PENDAHULUAN
Memasuki abad ke 19, wilayah di nusantara menghadapi perubahan apa yang dinamakan pembaharuan sebagaimana yang terjadi di wilayah Timur Tengah. Semisal penguasaan wilayah mesir oleh prancis, pemberontakan jazirah Arab terhadap kerajaan Trki Usmani, gerakan Muhammad ibn Abd Wahab, pemikiran Pan Islamisme Jamaluddin Al Afgani yang kemudian diteruskan oleh Muhammad Abduh dan Rashid Ridha melalui majalah Al Manar maupun peran serta para pemikir lainnya. Peristiwa peristiwa itu secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak kepada ulama di nusantara karena setelah sekian lama menjalin hubungan dengan wilayah tersebut. Maka, pemikiran pemikiran ulama di Timur tengah itu secara perlahan mulai menghiasai dinamika kehidupan di nusantara.
Karenanya ulama ulama nusantara pada abad ke 19 menghadapi kenyataan pembaharuan dalam dunia islam di wilayahnya.
Selain itu imperialism barat yang semakin tajam memangkitkan semangat perlawanan para penduduk jajahan tak lepas juga perlawanan di Nusantara terutama Indonesia. Gerakan perlawanan ini mau tidak mau mengikut sertakan ulama sebagai tokoh sentral di kalanga masyarakat untuk bersama sama rakyat mengangkat senjata melawan imperialism barat.
Maka para ulama pada abad 19 memiliki peran ganda yaitu sebagai sosok pembaharu di dunia islam dan juga sebagai sosok pemimpin perlawanan menghadapi imperialisme barat.
Oleh karena itu dalam pembahasan kali ini akan dibahas mengenai jaringan ulama nusantara abad 19 dan peranannya pada sekitar waktu tersebut.
PEMBAHASAN
A. Jaringan Ulama di Nusantara Abad ke-19
Banyak ulama berpengalaman yang hidup di abad XIX, yang berjuang mengembangkan Islam di Indonesia. Tercatat dalam sejarah, ulama-ulama tersebut adalah Ahmad Khatib (Minangkabau); Muhammad Nawawi (Banten); Diponegoro, Ahmad Rifa’I (Jawa Tengah)’ Khalil (Madura); dan Arsyad al-Banjari (Kalimantan) dimana seluruh ulama tersebut “Mekah based” dan secara fiqih Syafiiyah. Keseluruh ulama berpengaruh abad XIX tersebur berjuang secara lokal dan gerakannya sangat tipikal pada saat itu, meski kemudian ada yang buah fikirannya diakui secara nasional, bahkan internasional. Dengan mengambil kriteria-kriteria tertentu, seperti kualifikasi keilmuan, integritas kepribadian dan keperduliannya terhadap problema umat Islam .
Sebagaimana jaringan ulama pada abad sebelumnya, maka jaringan ulama pada sekitar abad ke-19 pun tak bisa dilepaskan dari peran timur tengah seperti Mekah di Jazirah Arab dan Mesir mengingat adanya keterkaitan yang erat antara pemikiran para ulama di wilayah tersebut dengan murid muridanya dari nusantara yang belajar di wilayah tersebut.
Ulama-ulama pada abad ke 19 mengutip pernyataan HAMKA dalam buku jaringan ulama Azyumardi Azra, adalah sebagai tonggak pembaharuan islam di Indonesia. Bersamaan dengan kemunculan gerakan Paderi di Sumatera barat.
Memasuki abad ke-19, menurut Rafiq Zakaria (1989), dalam The Sturggle Within Islam, the Conflict Between Religion and Politics , dunia islam dihadapkan pada tantangan imperialis barat yang semakin keras. Dengan keadaan seperti itu, para ulama beserta jaringan jaringannya merespon selain menyiapkan perlawanan bersenjata, sekaligus menguatkan solidaritas muslim atau kesetiaan jama’ah islam yang diikat dengan kesadaran hukum islam.
Sampai dengan abda ke-19, para ulama di seluruh nusantara tercatat dalam sejarah yang sebenarnya, sebagai pelopor terdepan dalam gerakan nasionalisme. Arti nasionalisme sebagai pelopor perjuangan dalam membebaskan bangsa dan negara serta agama dari penjajahan imperialisme barat.
Mengutip keterangan Ahmad Mansyur Suryanegara ulama-ulama pada abad ke 19 adalah para pelopor kebangkitan kesadaran Islam. Gerakan kebangkitan islam ini bertujuan diantaranya selain mengembalikan fitrah ke islamannya, juga sebagai upaya perlawanan terhadap pemerintahan kolonial belanda. Maka jelaslah peran ulama di abad ke 19 memengang peranan ganda, satu sisi sebagai penerus ajringan ulama apda abad sebelumnya dalam bidang pendidikan, sosial budaya, di sisi lain sebagai pemimpin perlawanan rakyat terhadap kekuasaan kolonial. Sehingga tidaklah aneh bila dalam pembahasan ulama pada abad 19, menurut Ahmad Mansyur Suryanegara adalah periode pembaruan islam seperti pendidikan dan sosio kultural sekaligus perlawanan tehadap penjajahan kolonial.
Pembaharuan yang terjadi di dunia islam, khususnya di wilayah nusantara (asia tenggara), tak lepas dari jaringan ulama nusantara dengan dunia luar terutama dari dunia arab, Hal ini bisa terjadi karena keeratan jaringan ulama timur tengah dengan ulama di nusantara telah terjalin sejak beraba-abad sebelumnya. Hal ini bisa dibuktikan oleh para pelopor dalam pembaharuan islam di nusantara dipelopori oleh ulama modernis dari berbagai Negara, yaitu Muhammad Ibn Abd Al Wahab di Jazirah arab, Jamaluddin Al Afgani, Muhammad Abduh, Rashid Ridha di Mesir yang berdampak ke Indonesia bersamaan dengan kembalinya Haji Miskin (1802) setelah melakukan ibadah Haji di Mekkah. Pembaharuan pemahaman agama islam ditunjukkan untu: a) menyucikan agama islam dari pengaruh bid’ah; b) pendidikan yang lebih tinggi bagi umat islam; c) pembaharuan rumusan ajaran islam menurut alam pikiran modern; dan d) pembelaan islam terhadap pengaruh barat dan Kristen.
a. Di wilayah Banten
Syekh Muhammad Nawawi merupakan seorang ulama kebanggaan Indonesia. Kebanggaan terhadap ulama yang dilahirkan tahun 1815 di Banten itu, karena dialah ulama Indonesia yang sangat dihormati di pusat pengetahuan Islam tradisional, Mekah dan Mesir. Keahliannya dalam mengupas masalah fiqih yang rumit - khususnya fiqih Syafi’I - dan kedalam tafsir ‘Murah Labib’ karyanya yang sampai saat ini masih menjadi bahan rujukan penting dalam studi tafsir di al-Azhar, Kairo membuatnya dijuluki “Sayyid Ulama Al-Hijaz”, Nawawi yang dalam hidupnya lebih banyak tinggal di Mekah dan mengajar di masjid Haram, mengarang 11 judul kitab, yang kesemuanya ini, beberapa kitab karya Nawawi masih dipelajari di berbagai pondok pesantren.
b. Gerakan Ahmad Rifa’i
Ahmad Rifa’I ia adalah ulama populis dan melancarkan kritik terbuka, baik kepada Belanda maupun kaum priyayi, yang dianggapnya sebagai perusak moral masyarakat. Kekerasan sikapnya terhadap kaum priyayi dan Belanda menyebabkan ia diasingkan ke Ambon, pada tahun 1859. Nama Ahmad Rifa’I memang tidak seharum Muhammad Nawawi di dunia internasional, meskipun ia termasuk ulama paling produktif dengan mengarang kitab-kitab sebayak 56 judul, yaitu 52 judul berbahasa Jawa dan 4 judul berbahasa Melayu - semuanya dalam bentuk puisi tembang. Ulama yang lahir tahun 1786 di Kendal Jawa Tengah ini juga terkenal sebagai juru da’wah yang memikat, baik secara lisan maupun tulisan. Para pengikutnya - dikenal sebagai Rifa’iyah atau Tarjumah - sampai saat ini masih survive, bahkan terus berkembang terutama di Wonosobo, Pekalongan, Batang dan Kendal.
c. Wilayah Minangkabau dan Gerakan Paderi
Di wilayah Minangkabau, Syaikh Ahmad Khatib (1852-1915), mengarang berbagai jenis kitab seperti misalnya Kitab Izhar Zughal Al-Khazibin ila Tasyabbuhihim bi al-shadiqin, Naskah kitab ini ditulis Ahmad Khatib di Mekah, selesai pada tanggal 4 Zulkaedah 1324 H/1905 M yang di cetak di Kairo, 1908 M/1325 H. Kitab al-Ayat al-Bayyinat li al-Munshifin fi lzalat Khurafat Ba'dh al-Muta'asshifin (Bukti-bukti yang jelas untuk orang-orang yang insaf dalam melenyapkan khurafat dari sebahagian orang-orang yang fanatik). Kitab al-Saif al-Battar fi Mahq Kalimat Ba’dh Ahl al-Ightirar (Pedang yang amat tajam untuk membasmi kata-kata seorang tukang tipu).yang semuanya berisikan kritikan terhadap kehidupan tarekat Naqsabandiah dalam rangka menanggapi lima masalah, yaitu: Tarekat Naqsabandiyah itu adakah asalnya pada syara' atau tidak; Adakah silsilahnya sampai kepada Rasullullah; Bagimana meninggalkan makan daging ketika suluk; Suluk 40 hari, 30 dan 10 hari adakah asalnya pada syari'at, dan Rabithah dalam tarekat adakah asalnya pada sy'ari'at atau tidak.
Ia memiliki beberapa orang murid yang selanjutnya meneruskan estafeta perjuangannya dalam menegakkan islam diantaranya adalah:
1. Syekh Tahir Jalaluddiri lahir di Bukittinggi 1869. Menetap di Malaya setelah kembali dari Makkah. Menerbitkan majalah bulanan Al Imam. Dalam majalah tersebut sering dikutip pendapat pendapat Muhammad Abduh yang diambil dari majalah Al Manar Mesir.
2. Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860) dan belajar di Mekah selama 9 tahun. Kemudian kembali ke Bukittinggi dan mengajar agama disana. Ia mendirikan surau Inyik Djambek (pesat kegiatan pembelajaran agama) dan Tsamaratul Ikhwan (organisasi sosial) yang kemudian berubah menjadi penerbit.
3. Haji Abdul Karim Amrullah (Haji rasul) lahir di Maninjau 1879. Ia memiliki jaringa ulama Malaya dan jawa.
Selain itu pada abada 19, di wilayah Minangkabau dan sumatera Barat pada umumnya muncul sebuah gerakan pembaharuan islam, yang menurut HAMKA adalah sebagai tonggak lahirnya gerakan pembaharuan islam di nusantara, yaitu Gerakan Paderi.
Gerakan Paderi atau Kaum Paderi (Kaum Ulama) menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di kalangan masyarakat yang ada di negeri-negeri Kerajaan Pagaruyung, seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan dan umumnya pelaksanaan longgar kewajiban ritual formal agama Islam.
Pemimpin kaum Paderi dinamakan Harimau nan Salapan ( harimau yang delapan) dengan beberapa pemimpin, antara lain:
1. Tuanku nan Renceh atau Tuanku nan Tuo atau Tuanku Kamang
2. Tuanku Canduang
3. Tuanku Pandai Sikek
4. Tuanku Lintau
5. Tuanku Pasaman
6. Tuanku Rao
7. Tuanku Tambusai
8. Tuanku Barumun
Gerakan ini pada akhirnya memicu perpecahan antara Kaum Padri yang dipimpin oleh Harimau nan Salapan dengan Kaum Adat dibawah pimpinan Raja Pagaruyung Sultan Muning Alamsyah. Dan kemudian meluas dengan melibatkan Belanda menjadi sebuah perang yang berlangsung dari 1803-1837. Dengan sosok sentralnya yaitu Tuanku Imam Bonjol.
d. Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro sebagai ulama di wilayah Jawa, memengang peran sebagai seorang ulama dan panglima perang, sebagaimana yang kita ketahui dewasa ini. Diponegoro lebih dikenal perannya dalam perlawanan terhadap penjajahan kolonial belanda.
Hal ini menarik untuk diperhatikan, sebab bagaimana pengaruh seorang Diponegoro sebagai ulama, dibantu dengan sahabat sahabatnya seperti Kiai Mojo dan Sentot Alibasah, yang dalam Api Sejarah bahkan disebutkan melibatkan tak kurang dari 108 Kiai, 31 Haji, 15 Syekh, 12 pegawai Penghulu Yogyakarta, dan 4 kiai tarekat/tasawwuf, memerankan suatu transformasi politik, ekonomi dan kultural sebagai akibat dari pemaksaan kolonial terhadap penduduk pribumi.
Manakala sentot Alibasah ditangkap dan dibuang ke Minangkabau, ia meluaskan jariangan ulamanya dengan membantu perlawanan gerakan paderi di minangkabau. Hal ini semakin memperluas ikatan mata rantai para ulama di nusantara.
Demikian pula dengan pangeran Diponegoro maupun Kiai Mojo yang dibuang ke wilaya timur Indonesia, diyakini disana membuka jaringan ulama di wilayah tersebut.
PENUTUP
Jaringan ulama di nusantara pada abad ke 19, tak pelak lagi memiliki keterkaitan dengan ulama ulama di luar negeri utamanya adalah ulama timur tengah sebagai gudang ilmu pengetahuan islam pada masanya.
Ulama ulama pada abad 19 seperti Imam Nawawi, Pangeran Dipongoro, Kiai Maja, Imam Bonjol, Ulama ulama gerakan paderi, Ahmad Rifa’I, Imam Syekh Nawawi Al Bantani, Arsyad Al Banjari adalah sebagian dari ulama ulama utama pada abad ke 19.
Hal yang menonjol dari peranan ulama pada abad 19 adalah mulai dikenalnya istilah pembaharuan dalam dunia islam dimana sebagian dari para ulama itu mengambil peran sebagai ulama pembaharu dalam dunia islam di nusantara.
Selain itu peranan ulama pada abad ini tak bisa dilepaskan dalam upaya untuk membebaskan negeri dari penjajahan, maka para ulama memiliki minimal dua peran, yaitu sebagai ulama pengajar, pendidikan, pemikir maupun pembaharu juga sebagai panglima atau pemimpin perang melawan imperialisme barat. Peran-peran inilah yang menjadi ciri khas dari keberadaan jaringan ulama pada sekitar abad ke 19.
DAFTAR PUSTAKA
Ajid Thohir. 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam Melacak Akar-Akar Sejarah, Politik, dan Budaya Umat Islam, Jakarta: RajaGrafindon Persada.
Ahmad Mansyur Suryanegara. 2010. Api Sejarah, Bandung: Salamadani Pustaka Semesta.
Azyumardi Azra. 1995. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Islam di Indonesia, Bandung: Mizan.
Dedi Supriyadi, M.Ag. 2008. Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Moh. Nurhakim. 2004. Sejarah dan Peradaban Islam, Malang: UMM Press.
Zakaria, Rafiq. 1989. The Struggle Within Islam, Australia: Penguins Books.
http//www.id.wikipedia.org/gerakan-paderi/
Home
»
»Unlabelled
» Jaringan Ulama Abad ke-19
Selasa, 08 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Bagus, tapi koq g ada syaikh Juned al Batawi ?
BalasHapus