PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai seorang muslim, tak akan pernah lepas dari keberadaan masjid yang berfungsi sebagai tempat beribadah kepada Allah SWT. Masjid dibangun khusus untuk menunjang kekhusyuan kita dalam bermunajat kepada Sang Khaliq
Namun demikian sebenarnya masjid memiliki fungsi lainnya yang lebih dari hanya sekadar tempat beribadah. Seperti misalnya masjid sebagai tempat aktivitas dakwah yangs angat urgen. Kemudian disana pula muncul interaksi dengan masyarakat yang pada akhirnya menciptakan suatu komunikasi sosial diantara mereka. Pakah itu misalnya dalam interaksi budaya, transaksi ekonomi maupun penginformasiaan lainnya yang sangat menunjang dinamisasi kehidupan bermasyarakat.
Di Indonesia, Masjid berperang penting dalam denyut kehidupan umat islam nusantara. Baik ketika pada masa awal islamisasi, pada masa perlawanan terhadap kolonial Belanda dan Jepang maupun pada masa revolusi kemerdekaan, masjid menjadi bagian integral dalam lintas sejarah negeri ini.
Selain itu hubungan suatu ritual keagamaan dengan tradisi yang ada dimasyarakat kerapkali menciptakan suatu ritual upacara keagamaan yang khas, dan sangat menarik untuk ditelusuri.
Maka dalam pembahasan saat ini, akan coba dijelaskan mengenai pengertian masjid dan fungsi-fungsinya serta upacara keagamaan, dalam hal ini adalah upacara keagamaan islam.
B. Rumusan Masalah
Untuk memetakan masalah masalah yang akan dikaji dalam pembahasan kali ini, antara lain sebagai berikut:
a. Bagaimana pengertian dan fungsi masjid?
b. Bagaimana peranan masjid dalam masa awal islamisasi, masa penjajahan dan masa revolusi kemerdekaan?
c. Bagaimana upacara-upacara keagamaan islam di Indonesia?
C. Tujuan penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk menjawab permasalahan-permasalahan antara lain:
a. Untuk mengetahui pengertian dan fungsi masjid
b. Untuk mengetahui peran masjid dalam masa awal islamisasi, masa penjajahan, dan masa revolusi kemerdekaan
c. Untuk mengetahui mengenai upacara-upacara keagamaan islam.
D. Metode penulisan
Metode yang digunakan oleh penulis adalah salah satu metode yang diperkenalkan dalam Metode Sejarah E. Kosim yaitu metode kepustakaan yang kemudian dikembangkan dalam kaidah metode umum sejarah seperti, heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Masjid
Masjid, pengertiannya secara etimologis merupakan isim makan dari kata "sajada" - "yasjudu"- "sujudan", yang artinya tempat sujud, dalam rangka beribadah kepada Allah SWT atau tempat untuk mengerjakan shalat. Sesungguhnya untuk sujud atau mengerjakan shalat, boleh dilakukan dimana saja asal tidak ada larangan, sebagaimana dinyatakan sabda Nabi SAW : "...Dijadikan bagiku seluruh bumi sebagai tempat sujud (masjid) dan dapat digunakan untuk bersuci ..." (HR. Muslim). Kenyataan itu memberikan suatu pemahaman, bahwa tempat untuk bersujud atau mengerjakan shalat tidak terikat pada tempat tertentu, akan tetapi boleh dilakukan dimana saja di alam semesta ini bahkan boleh dilakukan di kandang ternak sekalipun, asal memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan (lihat HR. Bukhari dari Anas Ibn Malik).
Adapun masjid (masjidun) mempunyai dua arti, arti umum dan arti khusus. Masjid dalam arti umum adalah semua tempat yang digunakan untuk sujud dinamakan masjid, oleh karena itu kata Nabi, Tuhan menjadikan bumi ini sebagai masjid. Sedangkan masjid dalam pengertian khusus adalah tempat atau bangunan yang dibangun khusus untuk menjalankan ibadah, terutama Shalat berjamaah. Pengertian ini juga mengerucut menjadi, masjid yang digunakan untuk Shalat Jum'at disebut Masjid Jami`. Karena Shalat Jum`at diikuti oleh orang banyak maka masjid Jami` biasanya besar. Sedangkan masjid yang hanya digunakan untuk Shalat lima waktu, bisa di perkampungan, bisa juga di kantor atau di tempat umum, dan biasanya tidak terlalu besar atau bahkan kecil sesuai dengankeperluan,disebut Musholla, artinya tempat Shalat. Di beberapa daerah, musholla terkadang diberi nama langgar atau surau.
Pengertian masjid secara sosiologis, yang berkembang pada masyarakat Islam Indonesia, ia dipahami sebagai suatu tempat atau bangunan tertentu yang diperuntukkan bagi orang-orang muslim untuk mengerjakan shalat, yang terdiri dari shalat wajib dan shalat sunnah, baik secara perseorangan ataupun jama'ah.
Ia diperuntukkan juga untuk melaksanakan ibadah-ibadah lain dan melaksanakan shalat Jum'at. Dalam perkembangan selanjutnya, masjid dipahami sebagai tempat yang dipakai untuk shalat sehari-hari dan dipakai untuk ibadah shalat Jum'at, yang sering disebut jami' atau masjid jami'. Sedangkan bangunan yang serupa masjid. yang dipakai untuk mengerjakan shalat wajib dan sunnah, yang tidak dipakai untuk shalat jum'at di sebut "mushalla". Kata ini merupakan isim makan dari “shalla”-“yushalli"¬ "shalatan" yang artinya tempat shalat. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa setiap masjid berarti juga mushalla. tetapi tidaklah setiap mushalla adalah masjid. Mushal1a sering disebut dengan nama tajug, langgar, surau, meunasah dan sebagainya.
Masjid merupakan tempat mencetak ummat yang beriman, beribadah, menghubungkan jiwa dengan sangt kholiq. Umat yang beragama shaleh dalam kehidupan masyarakat menjadi ummt ynag berwatak teguh. Memiliki masjid atau memanajemen suatu masjid tidak hanya membaguskan dan melihat dari bangunannya saja, tetapi harus bisa juga berdampak baik bagi ummat.
B. Fungsi Masjid
Jika menengok sejarah Nabi, ada tujuh langkah strategis yang dilakukan oleh Rasul dalam membangun masyarakat Madani di Madinah :
1. mendirikan Masjid,
2. mengikat persaudaraan antar komunitas muslim,
3. Mengikat perjanjian dengan masyarakat non Muslim,
4. Membangun sistem politik (syura),
5. meletakkan sistem dasar ekonomi,
6. membangun keteladanan pada elit masyarakat, dan
7. menjadikan ajaran Islam sebagai sistem nilai dalam masyarakat.
Ketika Nabi memilih membangun masjid sebagai langkah pertama membangun masyarakat madani, konsep masjid bukan hanya sebagai tempat Shalat, atau tempat berkumpulnya kelompok masyarakat (kabilah) tertentu, tetapi masjid sebagai majlis untuk memotifisir atau mengendalikan seluruh masyarakat (Pusat Pengendalian Masyarakat). Secara konsepsional masjid juga disebut sebagai Rumah Allah (Baitullah) atau bahkan rumah masyarakat (bait al jami`).Secara konsepsional dapat dilihat dalam sejarah bahwa masjid pada zaman Rasul memiliki banyak fungsi :
1. Sebagai tempat menjalankan ibadah Shalat
2. Sebagai tempat musyawarah (seperti gedung parlemen)
3. Sebagai tempat pengaduan masyarakat dalam menuntut keadilan (seperti kantor pengadilan)
4. Secara tak langsung sebagai tempat pertemuan bisnis
Sebagai contoh, pada awal perkembangan da'wah Islam periode madinah, ketika Nabi SAW, berhijrah, tempat yang pertama kali dibangun adalah masjid Quba, dengan dasar taqwa kepada Allah SWT, dikerjakan secara gotong-royong oleh masyarakat di tempat itu. Ia didirikan oleh masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat dalam rangka pengamalan ajaran Islam. "Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin mensucikan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang suci". (Qs. al-Taubah : 108).
Bersamaan dengan perkembangan zaman, terjadi ekses-ekses dimana bisnis dan urusan duniawi lebih dominan dalam pikiran dibanding ibadah meski di dalam masjid, dan hal ini memberikan inspirasi kepada Umar bin Khattab untuk membangun fasilitas di dekat masjid, dimana masjid lebih diutamakan untuk hal-hal yang jelas makna ukhrawinya, sementara untuk berbicara tentang hal-hal yang lebih berdimensi duniawi, Umar membuat ruang khusus di samping masjid. Itulah asal usulnya sehinga pada masa sejarah Islam klassik (hingga sekarang), pasar dan sekolahan selalu berada di dekat masjid .
Dalam pandangan Sidi Gazalba, dikemukakan secara sederhana tugas tugas masjid adalah sebagai berikut:
1. Sebagai tempat bersujud
2. Seagai tempat sembahyang lima waktu dan berbagai shalat sunat lainnya
3. Tempat yang khusus untuk berdoa
4. Tempat untuk mengumumkan hal-hal yang penting menyangkut hidup orang banyak
5. Tempat belajar atau pendidikan
6. Tempat diplomasi politik
7. Sebagai tempat sosial/penginapan bagi musafir.
Dalam konteks keindonesiaan, perpaduan masjid dengan kehidupan sosial dapat dilihat dalam kasus minangkabau. Prod. Nasroen telah memberikan interpretasinya secara filsafat dalam bukunya, “Falsafah Adat Minangkabau”. Kesimpulannya ialah bahwa pola adat itu sesuai dengan pola islam. Dalam perkembangan adat ia sampai pada tingkat yang sesuai dengan islam. Cara tersebut sesuai dengan teori evolusi kebudayaan, yaitu apabila terdapat unsur-unsur kebudayaan yang bersamaan pada dua kebudayaan, adalah persamaan itu disebabkan masing-masing kebudayaan dalam evolusinya mencapai tingkat yang sama.Islam masuk ke minangkabau terutama dari pesisir sebelah barat dalam kurun waktu kejayaan Kesultanan Aceh, waktu pesisir itu berada dalam kekuasaannya. Pesisir menjadi pangkalan islam dalam menyebarkan islam kepedalaman. Pedalaman minangkabau yaitu padang darat yang ketinggian letaknya, merupakan pusat adat. Pesisir memberikan agama kepada adat. Darat memberikan adat kepada pesisir.
Di Pariaman perpaduan masjid dengan sosial misalnya dalam perumusan gelar.
Maka masjid adalah barometer dari masyarakat islam, terbukti pula dengan kedudukan masjid di nagari. Hubungan masjid dan sosial menyatakan diri dalam perpaduan islam dalam masyarakat minangkabau.
Cara hidup ini memberikan kesimpulan dalam masyarakat minangkabau berupa makna kebudayaan minangkabau berdasarkan adat. Berlanjut adat berdasarkan syarak (syariat), dan syarak bersendikan kitabullah.
Kedudukan masjud sendiri dalam masyarakat minangkabau adalahs ebagai lambing kedudukan agama di sebelah adat.
Sehingga adanya keterkaitan antara lembaga kebudayaan yaitu balai adat dengan masjid sebagai lembaga dari agama di minangkabau.
Intergrasinya masjid dalam sosial berpangkal dan berujung pada bersatunya masjid dengan balai adat dalam nagari yang satunya sebagai lembaga ibadat dan yang lain sebagai lembaga sosial kebudayaan.
C. Masjid Pelengkap
Di masa lalu masjid berfungsi sebgai pusat kegiatan umat, untuk menggerakkan pelbagai bidang kehidupan manusia. Namun kemudian fungsi masjid bergeser ke istana sebagai pusat birokrasi yang menentukan faktor dalam masyarakat.
Ini dikesankan oleh Istana Islam di Afrika, yang membangun kemewahan istana melampaui keindahan bangunan masjid. Birokrasi menjadi sebagai wujud dari kelompok jemaah berfungsi dalam mekanisme kerajaaan. Sementara Masjid menjadi digeser oleh penguasa untuk pusat kegiatan ibadah semata.
Hal demikian dicerminkan juga oleh kerajaan Islam Jawa yang menempatkan masjid terpisah dari bangunan istana. Lihatlah kerajaan Surakarta, Jogykarta, dimana letak masjidnya tidak menyatu dengan istana. Tata kota kerajaan Islam, dengan bangunan serupa itu melambangkan Istana adalah pusat, sedangkan masjid adalah bagian dari unsur Ketuhanan, sehingga fungsi masjid adalah sekunder, atau hanya dimensi legitimasi kekuasaan belaka.
Konsep ini juga dilaksanakan dalam tata bangunan masa kini, sebagai masjid universitas, masjid pasar, masjid pabrik, yang tidak lain ada perubahan fungsi yang sangat fundamental dari masyarakat modern kita. Masihkah ada tersisa peranan masjid di tengah kesibukan masyarakat modern kini?
Ini mengesankan dimensi duniawi semakin kuat, dimensi amanah Allah semakin menyusut yang menjadikan masyarakat semakin sekuler. Manusia bekerja terpisah dari dimensi Ketuhanan. Ini terbentuk oleh birokrasi kekuasaan negara dengan pekerja terpusat pada dimensi duniawi. Karena itu perlu menegakkan dakwah dengan fungsi masjid .
D. Peran dan Fungsi Masjid di Indonesia
a. Pada Masa Awal Islamisasi
Sebenarnya peran dan fungsi masjid pada masa awal islamisasi Indonesia tak akan terlepas dari proses bagaimana islam itu dapat masuk ke Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bersama, banyak sekali jalan sarana islamisasi di Indonesia. Menurut Uka Tjandrasasmita dalam bukunya Dedi Supriyadi bahwa kedatangan islam dan penyebarannya di kepulauan Indonesia adalah dengan cara damai melalui berbagai cara, yaitu enam cara, seperti saluran perdagangan, perkawinan, ajaran tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik.
Dari berbagai cara penyebaran islam itulah, menurut Ahmad Mansur Suryanegara pada akhirnya mengerucut pada pembangunan masjid sebagai pusat atau lembaga pendidikan pada masa awal islamisasi Indonesia untuk mendidik dan membina generasi muda yang pada selanjutnya di Indonesia dikenal dengan istilah pesantren.
Demikian pula pendirian Masjid-Masjid pada masa awal islamisasi di Indonesia, seperti Masjid Demak, Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon, Masjid Al Aqsha Kudus (Masjid Menara Kudus), Masjid Agung Banten memainkan peran sebagai lembaga pendidikan pada masanya. Namun demikian, fungsi lain dari masjid-masjid pada masa ini, terutama yang dialami oleh sebagian masjid yang memiliki nilai historis tinggi sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, adalah sebagai legitimasi kekuasaan kesultanan islam.
Sebagaimana misalnya masjid Sang Cipta rasa Cirebon yang didirikan oleh Sunan Gunung Djati bersama Pangeran Tjakrabuana dengan bantuan dari para wali songo, menjadi symbol kekuasaan Keraton Cirebon.
Di sisi lain, keunikan dari keberadaan dan fungsi masjid-masjid pada masa awal islamisasi adalah dari segi penamaannya. Masjid-masjid pada masa awal ini memiliki nama-nama yang khas dan cenderung untuk tidak memakai istilah yang islami dahulu. Sebagai indikasi pemahaman kepada masyarakat waktu itu yang msih awam terhadap islam. Sehingga baikd ari segi penamaan maupun arsitektur masjid itu (khusunya di wilayah jawa) sangat kental dengan nuansa kejawaan maupun nuansa masa klasik (hindu budha).
Misalnya masjid Sang Cipta Rasa Cirebon, penamaan masjid ini adalah sebagai upaya untuk menumbuhkan kepahaman kepada masyarakat pada waktu itu. Sang Cipta Rasa bisa diartikan bahwa nuansa masjid itu dapat menumbuhkan kedekatan hakiki antara hamba dengan Allah swt. Demikian juga arsitektur masjid yang kental dengan nuansa hindu seperti dengan keberadaan Bentar, atap yang berundak-undak dan keberadaan memolo di puncak masjid tak lepas dari cermin nuansa klasik.
Demikian pula misalnya dengan keberadaan bentar di Masjid kudus, maupun memolo di masjid agung banten dan masjid agung sumedang. Ataupun bentuk atap yang berundak-undak yang banyak terdapat di masjid-masjid masa awal islamisasi yang hingga kini masih berdiri sebagaimana telah disampaikan sebelumnya.
Umumnya keberadaan masjid tidak bisa dilepaskan dari keberadaan pesantren yang menjadi pusat dari kegiatan kependidikan pada waktu itu.
b. Pada Masa Pemerintahan Kolonial
Pada masa kolonial belanda, peran dan fungsi masjid sebagai lembaga pendidikan sangat menonjol. Selain itu, kolonial belanda berusaha memberikan pengaruh atau nuansa tertentu dalam masjid setidaknya dari segi arsitektur, misalnya masjid pesantren manonjaya yang sekilas bernuansa eropa, terlihat dari keberadaan menaranya. Demikian pula keberadaan menara mercusuar di masjid agung banten tak lepas dari pengaruh kolonial belanda.
Pada zaman jepang masjid memiliki berbagai peran yang tak jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Hal ini dikarenakan masjid sebagai basis dari perjuangan umat islam. Namun demikian pemerintahan jepang cerdik dalam memanfaatkan situasi dan kondisi umat islam yang selama berabad-abad memiliki pengalaman perlawanan terhadap pemerintahan Kolonial Belanda yang non muslim. Dalam pelaksanaan ibadahnya uamt islam menjadikan ulama benar-benar memahami pemanfaatan masalah nilai ruang dan waktu.
Karena itu pemerintahan jepang menjadikan masjid sebagai salah satu tenpat melakukan propaganda perangnya untuk memenangkan hati rakyat Indonesia yang mayoritas muslim. Sebagaimana misalnya yang terjadi pada tanggal 24 april 1943. Manakala Abdul Muniam Inada tentara jepang beragama islam melaksanakan ceramah Maulid Nabi saw di Msjid Kwitang Jakarta.
c. Pada Masa Perang Kemerdekaan
Masjid pada masa perang kemerdekaan tak bisa dilepaskan peranannya sebagai basis atau markas perlawanan dari para pejuang islam. Hal ini dapat dimaklumi sebab masjid sebagai tempat untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, menjadikan para tentara muslim selalu berada dalam kondisi ruhiyah yang cukup untuk melanjutkan perjuangan dan perlawanan menghadapi kedatangan tentara sekutu yang ingin merebut kembali kemerdekaan bangsa Indonesia yang telah dideklarasikan pada 17 Agustus 1945.
Misalnya keberadaan masjid At-Taibin Senen yang pernah menjadi markas Pasuan Siliwangi pada masa revolusi kemerdekaan dan juga menjai tempat para ulama dalam mengobarkan semangat juang dalam melawan pendudukan sekutu yang kembali ke Indonesia.
Secara psikologis, masjid dapat memberikan ketenangan kepada siapapun yang berada di dalamnya, memberikan kenyamanan dan keamanan bagi setiap orang serta dapat menjernihkan fikiran. Oleh karena itu masjid-masjid dijadikan sebagai tempat membuat strategi perlawanan menghadapi sekutu yang kembali datang ke Indonesia.
Peperangan yang terjadi pada masa ini praktis menjadikan masjid berfungsi selain dalam fungsi awalnya sebagai lembaga pengajaran madrasah, pun sebagai markas perlawanan rakyat terhadap kedatangan sekutu yang hendak kembali menjajah negeri ini.
E. Upacara Keagamaan Islam
Sudah banyak ahli-ahli yang telah memusatkan kajiannya terhadap upacara keagamaan yang memerlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi. Seperti yang dikatakan oleh Robertson Smith, bahwa disamping sistem keyakinan, sistem upacara juga suatu perwujudan dari agama yang memerlukan studi dan analisa khusus. Kemudian dilanjutkan lagi oleh Van Gennep, yang mengatakan bahwa walaupun berpuluh-puluh upacara yang ada mempunyai bentuk yang nampaknya sangat berbeda satu dengan yang lainnya, hal ini perlu analisa yang mendalam akan mewujudkan adanya persamaan dalam bentuk yang sangat aneka warna.
Upacara-upacara keagamaan itu penting sekali peranannya bagi manusia untuk mencapai tujuan hidupnya. Seperti yang dikatakan Freusz bahwa pusat dari tiap-tiap sistem kepercayaan yang ada di dunia ini adalah upacara, dan melalui kekuatan yang dianggapnya berperan dalam tindakan-tindakan seperti itu manusia mengira dapat memenuhi dan dapat mencapai tujuan hidupnya baik materil maupun spirituil.
Dari anggapan Freusz nampaklah jelas bahwa upacara agama berperan penting dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia serta berperan pula dalam mencapai tujuan hidup manusia itu.
Sistem upacara merupakan wujud kelakuan (Behavioral manifestation) dari religi. Seluruh sistem upacara itu terdiri dari aneka macam upacara yang bersifat harian, musiman, atau kadangkala. Upacara itu masing-masing terdiri dari kombinasi dari berbagai macam unsur upacara, seperti bersaji (sesajen), berdoa, bersujud, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi, berprosesi, bersandiwara suci, berpuasa, intoxikasi, bertapa, bersemedi.
Menurut Parsudi Suparlan, agama itu sendiri merupakan sistem keyakinan yang dipunyai secara individual yang melibatkan emosi-emosi dan pemikiran-pemikiran yang sifatnya pribadi dan diwujudkan dalam tindakan-tindakan keagamaan (upacara, ibadat dan amal ibadah) yang sifatnya individual ataupun kelompok dan melibatkan sebagian atau seluruh masyarakat, agama merupakan seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan lingkungan dan Tuhannya. Aturan-aturan ini lebih menekankan pada hal-hal yang normatif atau seharusnya untuk dilakukan.
Dalam keadaan pengaruh ajaran-ajaran agama itu sangat kuat terhadap nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan, maka sistem-sistem nilai dari kebudayaan tersebut terwujud dengan simbol-simbol suci yang maknanya bersumber pada ajaran-ajaran agama yang menjadi kerangka acuannya.
Dalam keadaan demikian maka secara langsung etos menjadi pedoman dari eksistensi dan kegiatan berbagai pranata yang ada dalam masyarakat (keluarga, ekonomi, pendidikan dan sebagainya) dipengaruhi, digerakkan dan diarahkan oleh berbagai sistem nilai yang sumbernya adalah agama yang dianutnya, dan terwujud dalam kegiatan-kegiatan para warga masyarakat sebagai tindakan-tindakan dan karya-karya yang diselimuti oleh simbol-simbol suci (Parsudi Suparlan dalam Robertson). Sedangkan simbol yang dimaksudkan disini adalah yang dikatakan Geertz sebagai setiap subjek, gerakan atau kejadian yang melayani sebagai kendaraan bagi ide-ide atau makna.
Hal ini dapat dilihat dalam sistem nilai yang diwujudkan dalam kehidupan masyarakat melayu, seperti adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabbullah ini berati adat melayu yang dipakai oleh masyarakat melayu tidak lepas dari nilai-nilai agama Islam.
Jadi agama sebagai sistem keyakinan, yang ajaran-ajaran dalam agama tersebut sangat erat pengaruhnya terhadap sistem nilai yang ada dalam masyarakat yang berangkutan. Sedangkan kebudayaan disini merupakan prilaku berpola yang ada dalam kelompok tertentu yang anggota-anggotanya memiliki makna yang sama serta simbol yang sama untuk mengkomunikasikan makna tersebut. Lebih konkrit lagi, makna-makna yang dimiliki secara bersama (yang diperkuat defenisi realitas) terpatri dalam sistem simbol budaya seperti bahasa, pakaian dan seni. Makna-makna yang dimiliki secara bersama ini secara fungsional terwujud melalui pranata-pranata (struktur) politik, ekonomi, agama dan sosial. Prilaku berpola tersebut, atau kebiasaan merupakan penghubung antara struktur dan fungsi kebudayaan sebagaimana dikomunikasikan secara simbolis.
Dibawah ini adalah dua contoh upacara keagamaan islam yang coba dibahas, yaitu mengenai Sekaten dan grebek Besar di Demak.
a. Sekaten
Sekaten atau upacara Sekaten (berasal dari kata Syahadatein) adalah acara peringatan ulang tahun nabi Muhammad s.a.w. yang diadakan pada tiap tanggal 5 bulan Jawa Mulud (Rabiul awal tahun Hijrah) di alun-alun Yogyakarta (dan juga di alun-alun Surakarta secara bersamaan). Upacara ini dulunya dipakai oleh Sultan Hamengkubuwana I, pendiri keraton Yogyakarta untuk mengundang masyarakat mengikuti dan memeluk agama Islam.
Pada hari pertama, upacara diawali saat malam hari dengan iring-iringan abdi Dalem (punggawa kraton) bersama-sama dengan dua set gamelan Jawa: Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Iring-iringan ini bermula dari pendopo Ponconiti menuju masjid Agung di alun-alun utara dengan dikawal oleh prajurit Kraton. Kyai Nogowilogo akan menempati sisi utara dari masjid Agung, sementara Kyai Gunturmadu akan berada di Pagongan sebelah selatan masjid. Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan sampai dengan tanggal 11 bulan Mulud selama 7 hari berturut-turut. Pada malam hari terakhir, kedua gamelan ini akan dibawa pulang ke dalam Kraton.
Dua hari sebelum acara Grebeg Muludan, suatu upacara Tumplak Wajik diadakan di halaman istana Magangan pada jam 16:00 sore. Upacara ini berupa kotekan atau permainan lagu dengan memakai kentongan,lumpang untuk menumbuk padi, dan semacamnya yang menandai awal dari pembuatan Gunungan yang akan diarak pada saat acara Grebeg Muludan nantinya. Lagu-lagu yang dimainkan dalam acara Tumplak Wajik ini adalah lagu Jawa populer seperti: Lompong Keli, Tundhung Setan, Owal awil, atau lagu-lagu rakyat lainnya.
Acara puncak peringatan Sekaten ini ditandai dengan Grebeg Muludan yang diadakan pada tanggal 12 (persis di hari ulang tahun Nabi Muhammad s.a.w.) mulai jam 8:00 pagi. Dengan dikawal oleh 10 macam prajurit Kraton: Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrijero, Surokarso, dan Bugis, sebuah Gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan dan buah-buahan serta sayur-sayuan akan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung. Setelah dido'akan Gunungan yang melambangkan kesejahteraan kerajaan Mataram ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari Gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.
b. Grebek Besar Demak
Demak merupakan kerajaan Islam pertama dipulau jawa dengan rajanya Raden Fatah. Disamping sebagai pusat pemerintahan, Demak sekaligus menjadi pusat penyebaran agama Islam dipulau Jawa. Bukti peninggalan sejarah masih berdiri dengan kokoh sampai sekarang, yaitu Masjid Agung Demak.
Penyebaran agama Islam di Pulau Jawa dimulai pada abad XV dan dipelopori oleh Wali Sanga, bahkan salah satu wali tersebut bermukim sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di Kadilangu Demak, yaitu Sunan Kalijaga. Menurut cerita, Kadilangu semula adalah daerah perdikan sebagai anugrah dari Sultan Fatah kepada Sunan Kalijaga atas jasa-jasanya dalam mengembangkan agama Islam dan memajukan kerajaan Demak.
Berbagai upaya dilakukan oleh para Wali dalam menyebarluaskan agama Islam. Berbagai halangan dan rintangan menghadang, salah satu diantaranya adalah masih kuatnya pengaruh Hindu dan Budha pada masyarakat Demak pada waktu itu. Pada akhirnya agama Islam dapat diterima masyarakat melalui pendekatan pendekatan para Wali dengan jalan mengajarkan agama Islam melalui kebudayaan atau adat istiadat yang telah ada.
Setiap tanggal 10 Dzulhijah umat Islam memperingati Hari Raya Idul Adha dengan melaksanakan Shalat Ied dan dilanjutkan dengan penyembelihan hewan qurban. Pada waktu itu, dilingkungan Masjid Agung Demak diselenggarakan pula keramaian yang disisipi dengan syiar-syiar keagamaan, sebagai upaya penyebarluasaan agama Islam oleh Wali Sanga. Sampai saati ini kegiatan tersebut masih tetap berlangsung, bahkan ditumbuh kembangkan.
Grebeg Besar Demak diawali dengan pelaksanaan ziarah oleh Bupati, Muspida dan segenap pejabat dilingkungan Pemerintah Kabupaten Demak, masing-masing beserta istri/suami, ke makam Sultan-Sultan Demak dilingkungan Masjid agung Demak dan dilanjutkan dengan ziarah ke makam Sunan Kalijaga di Kadilangu. Kegiatan ziarah tersebut dilaksanakan pada jam 16.00 WIB; kurang lebih 10 (sepuluh) hari menjelang tanggal 10 Dzulhijah
Untuk meramaikan perayaan Grebeg Besar di lapangan Tembiring Jogo Indah digelar pasar malam rakyat yang dimulai kurang lebih 10 (sepuluh) hari sebelum hari raya Idul Adha dan dibuka oleh Bupati Demak setelah ziarah ke makam Sultan-Sultan Demak dan Sunan Kalijaga
Pasar malam tersebut dipenuhi dengan berbagai macam dagangan, mulai dari barang barang kebutuhan sehari-hari sampai dengan mainan anak, hasil kerajinan, makanan/minuman, permainan anak-anak dan juga panggung pertunjukkan /hiburan.
Selamatan Tumpeng Sanga dilaksanakan pada malam hari menjelang hari raya Idul Adha bertempat di Masjid Agung Demak. Sebelumnya kesembilan tumpeng terebut dibawa dari Pendopo Kabupaten Demak dengan diiringi ulama, para santri, beserta Muspida dan tamu undangan lainnya menuju ke Masjid Agung Demak. Tumpeng yang berjumlah sembilan tersebut melambangkan Wali Sanga. Selamatan ini dilaksanakan dengan harapan agar seluruh masyarakat Demak diberikan berkah keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat dari Allah SWT. Acara selamatn tersebut diawali dengan pengajian umum diteruskan dengan pembacaan doa. Sesudah itu kepada para pengunjung dibagikan nasi bungkus. Pembagian nasi bungkus tersebut dimaksudkan agar para pengunjung tidak berebut tumpeng sanga. Sejak beberapa tahun terakhir tumpeng sanga tidak diberikan lagi kepada para pengunjung dan sebagai gantinya dibagikan nasi bungkus tersebut.
Pada saat yang sama di Kadilangu juga dilaksanakan kegiatan serupa, yaitu Selamatan Ancakan, selamatan terebut bertujuan untuk memohon berkah kepada Allah SWT agar sesepuh dan seluruh anggota Panitia penjamasan dapat melaksanakan tugas dengan lancar tanpa halangan suatu apapun juga serta untuk menghormati dan menjamu para tamu yang bersilaturahmi dengan sesepuh.
Pada tanggal 10 Dzulhijah Masjid Agung dipadati oleh umat Islam yang akan melaksanakan Shalat Ied, pada saat-saat seperti ini Masjid Agung Demak sudah tidak dapat lagi menampung para jamaah, karena penuh sesak dan melebar ke jalan raya, bahkan sebagian melaksanakan Shalat di alun-alun. Pada kesempatan tersebut Bupati Demak beserta Muspida melaksanakan Shalat di Masjid Agung Demak dan dilajutkan dengan penyerahan hewan qurban dari Bupati Demak kepada panitia.
Setelah selesai Shalat Ied di makam Sunan Kalijaga, Kadilangu, dilaksanakan penjamasan pusaka peninggalan Sunan Kalijaga. Kedua pusaka tersebut adalah Kutang Ontokusuma dan Keris Kyai Crubuk. Konon Kutang Ontokusumo adalah berujud ageman yang dikiaskan pegangan santri yang dipakai sunan kalijaga setiap kali berdakwah.
Penjamasan pusaka-pusaka tersebut didasari oleh wasiat sunan kalijaga sebagai berikut””agemanku, besuk yen aku wis dikeparengake sowan engkang Maha Kuwaos, salehna neng duwur peturonku. Kajaba kuwi sawise uku kukut, agemanku jamas ana.” Dengan dilaksanakan penjamasan tersebut, diharapkan umat Islam dapat kembali ke fitrahnya dengan mawas diri/mensucikan diri serta meningkatkan iman dan taqwa Kepada allah SWT
Prosesi penjamasan tersebut diawali dari Pendopo Kabupaten Demak, dimana sebelumnya dipentaskan pagelaran tari Bedhoyo Tunggal Jiwo. Melambangkan “Manunggale kawula lan gusti”, yang dibawakan oleh 9 (sembilan) remaja putri. Dalam perjalanan ke Kadilangu minyak jamas dikawal oleh bhayangkara kerajaan Demak Bintoro “Prajurit Patangpuluhan” dan diiringi kesenian tradisional Demak. Bersamaan dengan itu Bupati beserta rombongan menuju Kadilangu dengan mengendarai kereta berkuda.
Penjamasan pusaka peninggalan Sunan Kalijaga dilaksanakan oleh petugas dibawah pimpinan Sesepuh Kadilangu di dalam cungkup gedong makam Sunan Kalijaga Kalijaga. Sesepuh dan ahli waris percaya, bahwa ajaran agama Islam dari Rasulullah Muhammad SAW dan disebar luaskan oleh Sunan Kalijaga adalah benar. Oleh karena itu penjamasan dilakukan dengan mata tertutup. Hal tersebut mengandung makna, bahwa penjamas tidak melihat dengan mata telanjang, tetapi melihat dengan mata hati. Artinya ahli waris sudah bertekad bulat untuk menjalankan ibadah dan mengamalkan agama Islam dengan sepenuh hati. Dengan selesainya penjamasan pusaka peninggalan Sunan Kalijaga tersebut, maka berakhir pulalah rangkaian acara Grebeg Besar Demak
KESIMPULAN
Masjid pada pengertian sederhana adalah sebuah tempat dimana seorang muslim bisa melakukan peribadatan kepada Allah SWT.
Masjid memiliki fungsi fungsi lainnya yang menujang keberadaan masjid, diantaranya:
a. Fungsi dakwah
b. Fungsi pendidikan
c. Fungsi sosial
d. Fungsi ekonomi
e. Fungsi budaya, dll.
Semua itu menjadikan Masjid sebagai keseluruhan pusat kegiatan/aktivitas umat yang keberadaannya tak bisa dikesampingkan begitu saja.
Di sisi lain, dalam persfektif sejarah, masjid memiliki peran yang sangat besar dalam perannya semisal pada masa awal islamisasi berperan memperkenalkan islam ke masyarakat Indonesia, membangun lembaga pendidikan yang berpusat di masjid. Namun juga ada sentuhan kolonial dalam masjid-masjid di Indonesia pada masa itu setidaknya dari segi arsitekturnya. Demikian pula masjid sebagai basis perlawanan rakyat terhadap keberadaan sekutu yang hendak kembali menjajah negeri ini.
Upacara-upacara keagamaan penting sekali peranannya bagi manusia untuk mencapai tujuan hidupnya. Seperti yang dikatakan Freusz bahwa pusat dari tiap-tiap sistem kepercayaan yang ada di dunia ini adalah upacara, dan melalui kekuatan yang dianggapnya berperan dalam tindakan-tindakan seperti itu manusia mengira dapat memenuhi dan dapat mencapai tujuan hidupnya baik materil maupun spiritual.
Dalam keadaan pengaruh ajaran-ajaran agama itu sangat kuat terhadap nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan, maka sistem-sistem nilai dari kebudayaan tersebut terwujud dengan simbol-simbol suci yang maknanya bersumber pada ajaran-ajaran agama yang menjadi kerangka acuannya.
Jadi agama sebagai sistem keyakinan, yang ajaran-ajaran dalam agama tersebut sangat erat pengaruhnya terhadap sistem nilai yang ada dalam masyarakat yang berangkutan. Sedangkan kebudayaan disini merupakan prilaku berpola yang ada dalam kelompok tertentu
DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku
Mahpuddin Noor. 2006, Potret Dunia Pesantren, Lintasan Sejarah, Perubahan, dan Perkembangan Pondok Pesantren. Humaniora: Bandung.
Koentjaraningrat, 1987, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta: PT Dian Rakyat.
Roland Robertson, 1988, Agama Dalam Analisa dan Interprestasi Sosiologis, Jakarta: Rajawali Pers.
G.F. Pijper. 1984. Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Hasan M. Ambaray. 1987. Pengamatan Beberapa Konsepsi Estetis dan Simbolis bangunan Sakral dan Sekuler Masa Islam di Indonesia. Dalam Diskusi Ilmiah Arkeologi II Jakarta 11-13 Pebruari 1985. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Depdikbud.
Ahmad Mansur Suryanegara. 2010. Api Sejarah 1 1. Bandung: Salamadani Pustaka Semesta.
Ajid Thohir. 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, politik, dan Budaya Umat Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
T. D Sjudjana. 2003. Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan Muatan Mistiknya. Bandung: Humaniora.
Dedi Supriyadi, M. Ag. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Colletta, Nat. J & Umar Kayam, 1987, Kebudayaan dan Pembangunan Sebuah Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan di Indonesia, Jakarta : Sanapiah
Clifford Geertz, 1992. Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius.
Sumber media internet
http://www.mail-archive.com/filsafat@yahoogroups.com/msg02123.html
http://mysolitaire.blogspot.com/2004/11/fungsi-masjid-dalam-masyarakat-dan.html
http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A4471_0_3_0_M
http://dunia.web.id/seo.headline-berita.php/page,akun.headline.tampil.detil/id,421/Fungsi-Masjid-Antara-Dulu--Kini.html
http://uchinfamiliar.blogspot.com/2009/01/manajemen-masjid_30.html
http://www.dmi-jakarta.org/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=19
http://www.demakkab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=153:upacara-adat-grebeg-besar-demak&catid=35:artikel&Itemid=75
http://id.wikipedia.org/wiki/Sekaten
Home
»
Sejarah Islam
» Mesjid dan Upacara Keagamaan Islam: Pengertian, Fungsi dan Aspek-aspek Historisnya
Selasa, 08 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
sangat indah bila teradisi itu selalu mendatang kan perbedaan karna tanpa perpedaan hdp akn terasa sunyi
BalasHapusakan indah kalau hidup itu punxa perbedaan
BalasHapus