Kamis, 22 Mei 2014

Satu kalimat yang saya lontarkan setelah penutupan pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden Indonesia pada (20/5) lalu adalah, "In syaa Allah, pemilu 2014 satu putaran."

Dengan hanya munculnya pasangan Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla yang diusung oleh PDIP, PKB, Nasdem, dan Hanura, serta pasangan Prabowo Subianto dan Muhammad Hatta Radjasa yang dimotori oleh Gerindra, PKS, PPP, PAN, serta didukung oleh PBB dan Golkar, maka memang benar pemilu kali ini hanya berlaku satu putaran.

Pedoman yang menjadi acuannya itu bukan lain adalah UU Pemilu Presiden dan Wakil presiden Nomor 42/2008 kurang lebih intinya adalah pasangan capres/cawapres memperoleh suara 50 persen ditambah satu. Dengan demikian, karena hanya ada dua pasangan definitif maka pasti akan ada capres/cawapres yang mampu mendulang suara diatas 50 persen itu.

Artinya, mesin politik kedua kubu harus digeber sejak dini agar cepat mencapai top performace. mereka tidak diberikan kesempatan untuk bersantai dan berleha-leha. Harus sigap, gesit, lincah, dan tentu saja cerdas memainkan kartu-kartu politik yang dimilikinya demi merengkuh suara rakyat Indonesia.

Dengan hanya dihelatnya satu putaran pun dapat menghemat anggaran pilpres seperti yang dituturkan KPU bahwa dibutuhkan sedikitnya 4, 012 trilyun rupiah hanya untuk kebutuhan khusus pilpres (JPPN.com). itu belum ditotal dengan anggaran yang digunakan untuk pileg yang baru berakhir, jumlahnya melambung pada kisaran 16 trilyun rupiah (Tribunnews.com)

Faktor kelelahan fisik dan psikis masyarakat juga sangat berpengaruh jika pilpres berlangsung lebih dari satu putaran. Tentunya kita bisa bercermin dari betapa rumitnya penyelenggaran pileg 2014 lalu, hal ini menjadi pelajaran bagi kita agar tidak mengulanginya kembali. Dengan demikian, efiktivitas dan efisiensi waktu penyelenggaran pilpres menjadi sesuatu yang didambakan oleh kita semua.

Sehingga energi dan pikiran rakyat Indonesia tidak terkuras habis oleh gonjang-ganjing seputar siapa yang akan menjadi RI 1. Saya khawatir, jika masyarakat kita terbius oleh suhu panas perpolitikan kita, akan semakin besar apatisme masyarakat. Sebab mereka lelah. Sebab mereka hanya dijadikan korban euforia politik negeri ini. Itu tidak boleh terjadi. Sebab hakikatnya pemilu adalah pesta rakyat, kembalikan semua kepada rakyat. begitu sederhananya.

Pada akhirnya, saat ini Ibu Pertiwi sedang mempersiapkan singgasana terbaiknya untuk menjadi alas duduk Presiden Indonesia 2014-2019. Semoga, pemimpin kali ini mampu membawa arus semangat baru Indonesia, sebuah kobaran yang menggetarkan jiwa bangsa kita, dan menggentarkan nurani negara-negara manca. Hingga waktunya Indonesia kembali ke kancah dunia dengan kepala yang tegak serta sikap yang bijak. In syaa Allah..

0 komentar:

Posting Komentar