Sabtu, 27 September 2014

Dengan Pilkada DPRD maka statmen ini akan berlalu, "Mau siapapun kepala daerahnya, tetap saja saya bekerja sendiri, menghidupi anak istri sendiri."



Karena rakyat telah memberikan mandat kepada wakil rakyat untuk memilih kepala daerah. Biarkan wakil rakyat disibukkan dengan itu. Sementara kita sebagai rakyat tinggal bekerja dan bekerja tanpa perlu repot ikut terlibat mengurus gebyar pemilihan kepala daerah. Bukankah 9 tahun terakhir, kita ini selalu disibukkan mengurus pilkada, sampai pekerjaan sehari-hari kita terabaikan?

Kekhawatiran bahwa Pilkada DPRD akan menyuburkan suap menyuap di kalangan anggota dewan itu sah-sah saja. Tergantung kepada siapa kita mandatkan amanat. Sementara untuk sebagian lainnya, mereka tidak merasakan khawatir karena menyakini wakil rakyat yang dipilihnya orang amanah dan memiliki integritas untuk menyelesaikan persoalan bangsa.

Tenang saja, Pilkada DPRD telah menggariskan batas tegas, jika terbukti terjadi penyuapan kepada anggota dewan dalam proses pencalonan kepala daerah, maka sanksinya sanksinya untuk partai politik, fraksi dan gabungan graksi yang mengusung calon terpilih tidak dapat mencalonkan kepala daerah pada periode berikutnya. Adanya sanksi tegas ini mau takmau membuat parpol berpikir dua kali jika ingin bermain api.

Dengan pilkada DPRD, maka rakyat takperlu lagi repot-repot mengawasi kinerja kepala daerah yang kebanyakan melempem dalam dua tahun terakhir masa jabatannya. Sudah jadi rahasia umum, dua tahun terakhir masa jabatan selalu digunakan sebagai ajang konsolidasi dan persiapan menjelang pemilu selanjutnya (kalau yang bersangkutan incumben). Lewat pilkada DPRD, kepala daerah tidak punya lagi kewenangan itu. Tugas mereka jelas lima tahun bekerja, bukan yang lain.

Pernyataan bahwa Pilkada DPRD akan memasung calon independenpun otomatis mentah karena Pilkada DPRD membuka ruang seluas-luasnya bagi calon Independen untuk menjadi kepala daerah. Jadi, takperlu lagi mengkhawatirkan orang-orang yang memiliki kualitas dan integritas namun tidak berasal dari internal partai politik akan terhambat potensinya. Calon independen maupun calon internal parpol diperlakukan sama. Keduanya berhak maju jika didukung oleh masyarakat di daerahnya. Sebagai contoh, aturan bagi calon yang akan maju di tingkat provinsi dengan populasi 2 juta sampai 6 juta penduduk mesti didukung minimal 6,5% penduduknya.

Pada akhirnya, Pilkada DPRD merupakan opsi terbaik untuk saat ini. Bukan merupakan nostalgia terhadap Orde Baru karena kenyataannya Orde Baru telah tidur dengan tenang di alam sejarah. Bukan pula penghianatan terhadap Orde Reformasi karena kenyataannya Orde Reformasi terus bertransformasi mencari identitas ideal dalam membangun indonesia. Saya menyebutnya, UU Pilkada DPRD merupakan perpaduan antara musyawarah mufakat zaman Orde Baru dan Pengawasan Masyarakat zaman Orde Reformasi.

Salam Indonesiaku!
(27/9)

0 komentar:

Posting Komentar