Selasa, 24 Desember 2013

oleh: HD Gumilang
Sebetulnya tulisan ini hanyalah cetusan atas postingan status saya yang sangat sederhana, “Saya ini lulusan sejarah, tapi bergelut dalam dunia politik. Saya ini lulusan sejarah, tapi bergelut dalam dunia sastra.”
Kemudian otak saya terpancing memikirkan mencari hubungan antara sejarah dan politik, serta sejarah dan sastra. Tapi terus terang, saya masih belum berani untuk mencari hubungan antara politik dan sastra walaupun sempat terbersit dalam benak bahwa Pramoedya menuangkan kegelisahan politiknya lewat bahasa sastra dalam novel-novel karyanya yang monumental itu. Tapi itu masih pendapat pribadi, perlu tinjauan lebih jauh.
Setiap kali bicara sejarah, saya tidak bisa lepas ingatan dari Kuntowijoyo. Sosok yang didaulat sebagai pengarang dan sejarawan. Kuntowijoyo menulis dalam Penjelasan Sejarah (Historical Explanation) bahwa hakikat sejarah itu ada tiga.
Pertama, Sejarah: Menafsirkan, memahami, mengerti.
Kedua, Sejarah: Memanjang dalam waktu, terbatas dalam ruang.
Ketiga, Sejarah: Menuturkan gejala tunggal.
Ada catatan menarik dalam buku tersebut, yakni: Sejarah menurut Galtung merupakan ilmu diakronis (Dia=melalui, chronicus=waktu), sedangkan ilmu sosial merupakan ilmu sinkronis (Syn=bersama, chronicus=waktu). Sejarah disebut ilmu diakronis sebab sejarah meneliti gejala-gejala yang memanjang dalam waktu, tetapi dalam ruang yang terbatas. Sebaliknya, ilmu sosial lain (sosiologi, politik, ekonomi, antropologi) adalah ilmu sinkronis, yaitu ilmu yang meneliti gejala-gejala yang meluas dalam ruang, tetapi dalam waktu terbatas.
Sedangkan politik, kaitannya dengan sejarah, saya melihat ada keterkaitan antara sejarah dan politik. Sebagaimana yang diungkapkan Miriam Budiharjo bahwa sejak masa dahulu kala ilmu politik erat hubungannya dengan sejarah. Sejarah merupakan alat yang paling penting bagi ilmu politik, oleh karena menyumbang bahan, yaitu data dan fakta dari masa yang lampau untuk diolah lebih lanjut. (Miriam Budiardjo, 2004: 17)
Namun demikian, tetap ada garis tegas (katakanlah sebuah perbedaan pandangan) antara ahli sejarah dan sarjana ilmu politik ialah bahwa ahli sejarah selalu meneropong masa yang lampau dan inilah yang menjadi tujuannya, sedangkan sarjana ilmu politik biasanya lebih melihat ke depan (future oriented).
Hanya saja, pertentangan itu bukanlah sesuatu yang mutlak dan tidak bisa disatukan. Saya pikir kebaikan yang ada dalam sisi sejarah, dapat dipadukan dengan kebaikan yang ada dalam sisi politik. Apa itu?
Jika sejarah melihat ke belakang, sedangkan politik melihat ke depan, mengapa kita tidak padukan keduanya sehingga lahir harmonisasi: aku dari masa lalu, hidup di masa kini, untuk masa depan.
Bukankah sangat populer juga kalimat, “Orang yang baik pada masa kini pernah punya masa lalu yang buruk. Orang yang buruk di masa kini masih punya masa depan yang baik.” Simpelnya adalah: Hakikat kehidupan. Bukan lagi hanya hakikat sejarah ataupun makna politik.
Kemudian, kita lanjutkan tentang sastra. Apakah ada kaitannya sastra dengan sejarah?
Untuk ini, barangkali kata-kata Bakdi Soemanto dalam pengantar kumpulan cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi karangan (lagi-lagi kusebutkan nama ini) Kuntowijoyo cukup menggambarkan bahwa sastra dan sejarah itu berkaitan bahkan dalam satu individu sekalipun.
“Hingga sekarang saya belum yakin benar apakah Prof. Dr. Kuntowijoyo seorang sejarawan yang menulis fiksi atau seorang novielis, penulis lakon, penyair dan penulis cerpen yang suka sejarah.”
Memang betul, sebagaimana garis tegas sejarah dengan politik, ada pula garis tegas antara sejarah dengan sastra. Kusampaikanlah ini.
Sejarah sangat bergantung pada akurasi data. Ia tidak bisa sembarangan dituliskan. Ia harus berasal dari sesuatu yang benar-benar telah terjadi. kecerdasan menintesakan berbagai aspek yang jelas hubungannya dan yang kurang jelas, serta kecerdasan dalam analisis. Sederhananya, sejarah harus bisa menghadirkan gambaran apa yang sebenarnya yang terjadi.
Sedangkan sastra adalah sebuah seni. Ia bisa mengungkapkan sisi lain yang tidak bisa diungkapkan (baca: tabu) oleh sejarah. Sastra memiliki daya sentuh yang luar biasa hingga menembus cakrawala pemikiran, dan kedalaman hati para pembacanya.
Saya kembali menelisik pengantar di buku yang sama, Bakdi Soemanto menuliskan:
“Tetapi seorang sejarawan mempertanyakan apakah ‘laporan’ tentang apa yang terjadi itu sudah merupakan gambaran seluruh peristiwa. Kuntowijoyo, dengan fiksi dan puisinya, telah melengkapi sejarah yang ia geluti secara professional yang tidak mungkin mengungkapkan Diponegoro yang gemetar atau Letnan Kolonel Soeharto yang juga gemetar mengemban instruksi dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk memimpin anak buahnya menduduki Yogyakarta selama enam jam, yang kemudian secara legendaries dikenal dengan sebutan Serangan Oemoem Satoe Maret.”
Begitulah, sisi sastra bisa menyuntikan sisi-sisi emosi, empati, intuisi sedangkan sisi sejarah menyuguhkan peristiwa-peristiwa. Keduanya kemudian diolah menjadi sebuah tulisan. Maka muncullah jenis tulisan seperti Sastra Sejarah yang memadukan kedua hal tersebut, dengan tokoh-tokohnya seperti Langit Kresna, Tasaro GK, M. Irfan Hidayatullah, dan lain-lain.
Ah, maaf, barangkali saya terlalu ngelantur dalam tulisan ini. Bagaimana bisa, dari sebuah status pribadi disalurkan menjadi tulisan seperti ini. Ya sudahlah, setidaknya saya sekarang sadar bahwa: Saya berpikir berarti otak saya bekerja.


Cianjur, larut malam 24 Desember 2013 

1 komentar:

  1. dulunya, jurusan Sejarah itu masuknya ke fakultas Sastra loh..
    #ternyataSama2anakSejarah

    BalasHapus