Senin, 23 Desember 2013
Oleh: HD Gumilang
Seni berpolitik itu teramat banyak. Dari yang santun sampai
yang culas. Kuperkenalkan salahsatu seni berpolitik yang barangkali menjadi
salah satu tren saat ini: Seni Kotak Kosong.
Seni kotak kosong dalam pengertian sederhana adalah golput.
Melacak sejarahnya akan sangat rumit dan penuh warna abu-abu. Entah kapan mulai
adanya kotak kosong. Namun sedikit bisa dibeberkan, seni ini sangat populer
dalam masa orde baru, terutama dalam pemilihan kepala desa. Alasannya sangat
sederhana, sebagai wujud demokratisasi pada saat itu, selain memfasilitasi
pemilik hak suara yang ingin menggunakan hak suaranya dengan memilih salahsatu
calon. Juga memfasilitasi pemilik hak suaranya yang ingin menggunakan hak
suaranya dengan tidak memilih calon manapun.
Saya kesulitan mencari makna positif dari seni kotak kosong
alias golput ini. Sejauh yang saya ketahui, seni ini sangat jarang dipakai oleh
politikus-politikus yang menjunjung kesantunan dalam berpolitik. Justru seni
ini sangat digemari oleh politikus-politikus culas. Apa pasal?
Jadi begini, cara berpolitik seperti ini akan menjadikan
orang yang sangat ambisius menjadi terlihat kalem dan dipojokkan. Sebaliknya,
orang yang biasa saja dikesankan menjadi sangat ambisius.
Baru-baru ini kita disuguhkan tontonan mengenai gerakan
golput. Ada yang pro, ada juga yang kontra. Kita singkirkan dulu
argumen-argumen dari keduabelah pihak, karena tulisan ini bukan untuk mengadili
keduanya. Kita akan melihat sebuah persfektif lain, saya coba membeberkannya
dengan terang benderang.
Ada kelompok-kelompok kepentingan (para politikus itu) yang
menjadikan wacana golput sebagai tiket masuk ke parlemen. Bagaimana caranya?
Di luar, mereka mendukung sepenuhnya gerakan golput,
terutama yang diserukan kepada kalangan muslim yang nyata-nyata pemilik saham
terbesar (baca: pemilik suara) di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mereka sadar sesadar-sadarnya, dengan suara yang relatif
kecil mereka tidak mungkin masuk ke parlemen. Tapi, andaikata pemilik saham
terbesar negara ini berhasil digolputkan, besar peluang mereka melenggang ke
parlemen. Sebab, nah ini poin keduanya: Di internal, mereka sangat solid dan
terus mempersolid diri.
Di sisi lain, ada kelompok kepentingan lain yang sangat
cemas dengan gerakan golput ini. Mereka menilai, partisipasi masyarakat yang
rendah berkorelasi terhadap rendahnya pelayanan pemerintah pada masyarakat.
Mengapa? Sebab para wakil rakyat yang dipilih bukan representasi keinginan
rakyat.
Nah, kelompok kepentingan kedua ini, sangat mungkin untuk
dipojokkan. Orang-orang akan menilai, kelompok ini sangat gila kepentingan.
Sedangkan kelompok yang pertama, percaya atau tidak, hampir sepi dari
gunjingan. Padahal, jika kita telisik lebih dalam, yang culas itu justru
kelompok pertama.
Terakhir, menjadi tugas kita bersama untuk memberikan
pendidikan politik kepada masyarakat yang baik, santun, dan sesuai etika.
Perubahan itu ada di tangan kita. Pertanyaannya, apakah kita ingin menjadi
agent of change tersebut?
23 Desember 2013
Related Posts
Darurat Hukum Anak di Indonesia
Seorang siswa/i SD-SMA yang melakukan tindakan kejahatan yang dilakukan orang dewasa, tidak pantas...Read more
Seni Melawan JIL
Konstruksi berpikir kalangan Jaringan Islam Liberal (JIL) adalah apatisme Islam. Segala sesuatu ya...Read more
Tabiat Laten Amerika Serikat dan Sekutunya
Memang betul, setelah negara Komunis Uni Soviet runtuh pada tahun 1990, Amerika Serikat kehilangan l...Read more
Pengepungan bani Nadhir: Mengapa Pasukan Islam Menebang Pohon?
oleh: HD Gumilang Sudah sangat terkenal etika peperangan dalam Islam. Bahwa pasukan Islam sangat me...Read more
Otokritik Portal Berita Islami
By: HD Gumilang Portal berita Islami lahir sebagai antitesis dari portal berita sekular yang cender...Read more
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.