Sabtu, 06 April 2013


oleh: HD Gumilang*
DIterbitkan pada harian Radar Cianjur, Kamis 28 Maret 2013

Ketika Sa’ad bin Abi Waqqash mendatangi Muawiyyah beliau menyebut Muawiyyah sebagai Raja dan putra Abu Sofyan ini pun tidak menolaknya, “Sungguh, aku adalah Raja pertama dalam sejarah Islam.”
Tata cara pemerintahan Negara Madinah yang demokratis kemudian beralih menjadi tata cara monarki akibat lamanya Muawiyyah berinteraksi dengan sistem ini selama menjadi gubernur di tanah bekas kekuasaan imperium Persia. Namun demikian umat tetap taat kepadanya. Muawiyyah adalah seorang raja. Namun tidak jadi soal jika ada yang mengatakan bahwa beliau adalah Khalifah, karena Khalifah sudah menjadi sebuah kosa kata umum untuk menyebut seorang kepala Negara [khalifah, amirul mukminin, raja, sulthan] sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Katsir.
Kepemimpinan dinasti menjadi ciri yang paling mencolok dalam mekanisme pergantian kepemimpinan Daulah Umayyah ini. Seorang raja dan pewarisnya memiliki ikatan darah –keturunan- yang kemudian dibai’at [disahkan] oleh rakyatnya. Hal ini pun menandakan surutnya kedudukan syura dalam memilih seorang pemimpin karena sistem monarki mensyaratkan seorang Raja –sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya- adalah memiliki garis keturunan yang sama dengan raja yang digantikannya.
Bagaimanapun juga, terlepas dari kesewenang-wenangan beberapa oknum raja dalam Daulah Umayyah ini seperti Yazid yang sudah sangat mahsyur kezalimannya, dinasti ini telah menyelamatkan kehidupan Negara dan umat Islam dari vaccum of power.
Demikianlah yang selanjutnya terjadi dalam kehidupan pemerintahan umat Islam pada abad pertengahan dalam bentuk kerajaan. Baik dinasti Umayyah yang sudah disebutkan terdahulu, maupun dinasti lainnya seperti Dinasti Abbasiyah, Dinasti Utsmaniyah, Dinasti fathimiyah, Dinasti Mamlukiyah, Dinasti Umayyah Andalusia, Dinasti Safawiyah, Dinasti Mughaliyah, termasuk kerajaan-kerajaan Islam yang bermunculan di Indonesia dan nusantara sekitarnya seperti Perlak, Samudera Pasai, Aceh, Demak, Banten, Pajang, Banjar, Gowa, Tallo, Makassar, Ternate, Tidore, Kelantan, Patani, Moro, kesemuanya adalah Negara-negara yang beberapa diantaranya hidup dalam kurun waktu yang bersamaan dengan coraknya tersendiri, dengan kehidupan bernegaranya yang tersendiri. Dengan nafas-nafas Islam yang termaktub erat dalam jiwa pemeluk-pemeluknya serta toleransi yang kukuh terharap pemeluk agama lainnya, Ini adalah sebuah kenyataan sejarah yang tidak dapat dipungkiri, telah terjadi.
Sampai tiba masanya, sistem pemerintahan berbentuk kerajaan ini tenggelam ditandai dengan pembubaran kesultanan Turki Utsmani, juga pemarginalan fungsi-fungsi kerajaan Islam –dalam hal ini di Indonesia- seperti Mataram yang dipecah menjadi Yogyakarta dan Pakuan, Cirebon yang dipecah menjadi Kanoman dan Kasepuhan, dari fungsi kenegaraan berubah menjadi kedaerahan, umat kembali mengalami vaccum of power. Tapi Islam menggariskan, kepemimpinan itu harus berlanjut, bahkan untuk sebuah perjalanan yang dilakukan tiga orang pun wajib memilih salah seorang sebagai pemimpinnya apalagi untuk menjadi pemimpin umat.
Maka dengan jiwa-jiwa pembebasan itulah, umat Islam melawan penjajahan. Dibebaskanlah negeri-negeri kaum muslimin dari cengkeraman para penjajah. Afrika dan Asia menjadi medan yang paling gencar membebaskan diri. Dengan prinsip jihad fisabilillah, maka merdeka-lah negeri-negeri yang selama ini dikangkangi oleh penjajah. Merdekalah Indonesia –sekadar menyebut salah satu Negara- dari tangan penguasaan zalim.
Dalam fase modern ini, umat Islam dihadapkan kepada sebuah sistem pemerintahan yang baru, yaitu nation state. Negara bangsa. Persis sebagaimana ketika Utsman dihadapkan kepada kenyataan Negara yang dipimpinnya dihadapkan kepada interaksi dengan imperium. Atau persis sebagaimana Muawiyyah menyelaraskan sistem pemerintahan kerajaan dalam kehidupan bernegara daulah Umayyah.
Harus diakui, sistem pemerintahan adalah bagian dari karunia Allah kepada manusia berupa akal. Tidak dibakukannya sebuah sistem, semata untuk melihat sejauh mana ikhtiar manusia dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah. Yang dibakukan oleh Allah dan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam adalah, kewajiban memilih pemimpin. Tentang bagaimana caranya, itu kembali kepada manusia yang menjalaninya. Sebagaimana yang telah tergambarkan dalam peristiwa sejarah perpindahan kepemimpinan sejak Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, hingga raja-raja. Tidak ada sistem pemerintahan yang abadi, yang abadi adalah kewajiban untuk mengangkat seorang pemimpin umat.
Satu hal yang dapat diambil dari sini adalah, meskipun Negara-negara Islam terpecah di beberapa wilayah, akan tetapi Islam itu sendiri tetap bertahan dan bahkan terus berkembang, meluas, melekat erat dalam sanubari masyarakat, memancarkan sinarnya yang terang benderang, menghembuskan ruh-ruh hidayah atas kuasa Allah subhanahu wa ta’ala. Mengapa ini dapat terjadi? Sungguh, ini menjawab hipotesa dalam paragraf awal tulisan ini: Agama tidak membutuhkan Negara, tetapi Negara-lah yang membutuhkan agama.
*Penulis seorang peminat sejarah lulusan UIN Sunan Gunung Djati Bandung jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, tinggal di Tungturunan Ciranjang, Cianjur.

1 komentar:

  1. semakin mantap saja si akang ini dalam menuliskan kisah-kisah manusia dalam panggung kebudayaan dan peradabanya..saya banyak belajar dari akang,,,Kompor gasss

    BalasHapus