Selasa, 21 Mei 2013


by: HD Gumilang

"Saya mundur.." ucap Presiden Soeharto dengan lirih di Istana Negara pada 21 Mei 1998.

Hari ini, genap sudah 15 tahun peristiwa lengser keprabon tersebut. Sebuah peristiwa yang menandakan era baru dalam tonggak sejarah bangsa Indonesia.

Tentu kawan, masih banyak hal yang harus dibenahi dalam mengisi alam reformasi negeri ini.

Ketidakadilan masih menjadi santapan sehari-hari nusantara dari Sabang sampai Merauke.

Ada luka yang mendalam bagi negeri kita. Trauma yang menghantui setiap langkah bagi bangsa ini untuk membangun negeri.

Kita tidak berbicara tentang kegagalan mentransformasikan Indonesia. Sama sekali tidak.

Tapi bagaimanapun, kita tidak mungkin dapat menghindari hal itu. Mengapa? Karena semua yang telah berlalu itu adalah sebuah kenyataan sejarah.

Pahit memang, tapi itulah yang harus dihadapi dengan penuh perjuangan.

Negeri ini, masih terus belajar untuk berbenah. Mencari titik terang ditengah gulitanya himpitan yang mendera.

Saya tidak harus berbicara banyak tentang fakta. Karena saya percaya, tanpa di jelaskanpun teman telah mengetahuinya mendalam.

SARA, Korupsi, Kekerasan rumah tangga, degradasi moral remaja, isu terorisme, hanyalah sedikit dari sekian banyak hal PR yang mesti kita selesaikan.

Sejujurnya, saya bukanlah eksponen reformasi 1998. Sama sekali bukan. Maka dari itu, saya berharap para eksponen tulen kembali turun gunung dan meluruskan apa hakikat reformasi yang pernah mereka gariskan dahulu.

Pasca 1998 itu, sudah empat sosok yang memimpin Indonesia.

Di mulai dari Bacharudin Jusuf Habibie, sosok yang cerdas. Ucapannya tegas dan cepat. Namun sayang, beliau memimpin tidak di waktu yang tepat. The right man in the wrong place. Pemikirannya yang dahsyat itu masih sulit di cerna oleh sebagian kalangan yang -mungkin- masih berpikiran lambat.

Pemilu 1999 melahirkan sebuah epik sejarah, di mana seorang Kiyai naik tahta menjadi penguasa negeri ini. Jujur pada waktu itu, saya menonton lewat televisi proses pemilihan di MPR dan manakala KH Abdurrahman Wahid atau yang biasa di sapa Gus Dur terpilih ada rasa haru yang muncul. Terlepas dari kepemimpinannya yang kontroversial, keterbatasan fisiknya menjadi inspirasi tersendiri untuk tidak berhenti bekerja dan tidak meratapi kekurangan.

Namun prahara 2001, ketika Gus Dur berwacana mengeluarkan dekrit pembubaran MPR/DPR menjadi bumerang baginya. Poros Tengah -poros Islam di parlemen sekaligus pendukung utama Gus Dur pada 1999- pecah belah. Termasuk ketua MPR Amien Rais yang akhirnya berseberangan haluan politik dengan sang Presiden. Maka pada akhirnya Gus Dur di makzulkan dari jabatannya.

Peristiwa pemakzulan itu memunculkan Megawati Soekarnoputri yang sebelumnya wakil presiden naik daun menjadi Presiden. Ada kerinduan manakala membaca nama lengkapnya ada titel "Soekarno" di sana. Namun kenyataannya, ruh Soekarno belum sepenuhnya menjiwai Bu Mega manakala memimpin negeri ini. Banyak aset negeri yang di jual keluar. Pada masanya pula, isu terorisme mulai gencar. Bom Bali menjadi tonggak sejarah itu. Tak dapat berkutik, Bu Mega akhirnya mempersilahkan AS dan tetangga dekat di pasifik: Australia mulai mengintervensi urusan rumah tangga Indonesia. Mulailah perang terhadap terorisme di dengungkan. Sesungguhnya inipun perang yang fiktif karena kenyataanya yang terjadi -bahkan hingga detik ini- yang dilakukan adalah penyerangan terhadap umat Islam.

2004, pemilu secara langsung pertama yang diselenggarakan oleh Indonesia. Memakan banyak waktu dan tenaga. Akhirnya memunculkan Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden. Seorang yang sebelumnya mundur dari jabatan Menkopolhukam pada masa Megawati karena berseberangan paham. Kepemimpinannya disambut dengan musibah demi musibah dahsyat yang pernah mendera Indonesia. Tsunami, Letusan Gunung Merapi, Gempa Bantul. Benar-benar menjadikan negeri ini laksana puing khatulistiwa. Intervensi asing pun semakin meningkat. Kesejahteraan negeri terus merosot. SBY, begitu beliau di sapa pada akhirnya kembali terpilih memimpin negeri berjuta kisah dan peristiw aini pada 2009.

Belum banyak perubahan yang terjadi. Yang ada justru serentetan kasus yang tak terselesaikan. Bank Century, Hambalang, termasuk PR dari orde Baru: BLBI. Semuanya menggelinding menjadi salju besar yang sewaktu-waktu bisa berakibat fatal.

Akankah negeri ini terus menderita? Setelah reformasi 15 tahun yang lalu?

Adakah pempimpin yang sanggup mengemban amanah maha besar mengayomi bangsa Indonesia?

Kita masih memiliki harapan, lewat doa, ikhtiar, dan tawakal sebagai orang -yang berusaha untuk menjaganya- iman.

0 komentar:

Posting Komentar