Rabu, 20 April 2011

Definisi Cendekiawan:
Cendekiawan adalah orang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar, membayangkan, mengagas, atau menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan. Kata cendekiawan berasal dari Chanakya, seorang politikus dalam pemeritahan Chandragupta dari Kekaisaran Maurya.

Secara umum, terdapat tiga pengertian modern untuk istilah "cendekiawan", yaitu:
1.mereka yang amat terlibat dalam idea-idea dan buku-buku;
2.mereka yang mempunyai keahlian dalam budaya dan seni yang memberikan mereka kewibawaan kebudayaan, dan yang kemudian mempergunakan kewibawaan itu untuk mendiskusikan perkara-perkara lain di khalayak ramai. Golongan ini dipanggil sebagai "intelektual budaya".
3.dari segi Marxisme, mereka yang tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan, dan sebagainya.


Oleh karena itu, cendekiawan sering dikaitkan dengan mereka yang lulusan universitas. Namun, Sharif Shaary, dramawan Malaysia terkenal, mengatakan bahwa hakikatnya tidak semudah itu. Ia berkata:
"Belajar di universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan... seorang cendekiawan adalah pemikir yang sentiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seseorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat di mana ia hadir khususnya dan di peringkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu. Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman, terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan kebebasan untuk rakyat."
(id.ewikipedia.org/cendekiawan.htm)

Julien Benda (1867-1956) dalam karyanya La Trihason des Clercs (1927) mengartikan cendekiawan sebagai seseorang yang dalam perhatian utamanya mencari kepuasan dalam mengolah seni, ilmu pengetahuan atas renungan metafisika, dan bukan hendak mencari tujuan-tujuan praktis serta para moralis yang dalam sikap pandang dan kegiatannya merupakan perlawanan terhadap realisme massa. Mereka adalah para ilmuwan, filsuf, seniman, ahli metafisika yang menemukan kepuasan dalam penerapan ilmu (bukan dalam penerapan hasil-hasilnya) seperti Thomas Aquinas, Roger Bacon, Galileo, Rene Descartes, Pascal, Leibniz, Kepler, Newton, Voltair dan Montesquieu.
(taufikhidayat.net/cendekiawan_reformasi_dan_masyarakat_madani.htm)

Fungsi cendekiawan:
Sharif Shaary menegaskan bahawa seorang "cendekiawan" bukan hanya sekadar berpikir tentang kebenaran tetapi harus menyuarakannya, apapun rintangannya. Seorang cendekiawan yang benar tidak boleh netral, dan harus memihak kepada kebenaran dan keadilan. Dia "tidak boleh menjadi cendekiawan bisu, kecuali dia betul-betul bisu atau dibisukan".
(id.ewikipedia.org/cendekiawan.htm)

Definisi Intelektual:
Istilah intellectual atau intelektual muncul dari tulisan Clamenceau di salah satu harian Paris L’Aurore pada 23 Januari 1898 untuk menggambarkan para tokoh Dreyfusards (julukan bagi para pembela Kapten Dreyfus terhadap kesewenang-wenangan angkatan darat Perancis). Oleh pemerintah Perancis, kelompok ini dianggap sebagai gerakan pembangkang terhadap bangsa. Istilah intellectual ini kemudian mendapatkan tempat lagi di dunia barat pada akhir abad ke-19 bagi sekelompok elit yang mematuhi kaidah dan norma-norma tertentu sebagai panutan dalam kehidupan bermasyarakat. Sekelompok elit atau kaum intelektual ini, memiliki peran sebagai agen pencerah yang memihak pada hati nurani dalam menyelesaikan problema yang timbul di masyarakat. Edward W.Said dalam The Representation of Intellectuals mengartikan intelektual sebagai individu yang dikaruniai bakat untuk merepresentasikan dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap dan filosofi kepada publik. Ia mencontohkan Bertrand Russel, Jean Paul Sartre, Albert Camus dan Noam Chomsky sebagai orang-orang yang pantas mendapatkan predikat tersebut.
(taufikhidayat.net/cendekiawan_reformasi_dan_masyarakat_madani.htm)

Fungsi Intelektual:
Noam Chomsky dalam The Responsibility of Intellectuals (1996) mengatakan bahwa intelektual memiliki posisi untuk `mengungkapkan kebohongan-kebohongan pemerintah, menganalisis tindakan-tindakannya sesuai penyebab, motif-motif serta maksud-maksud yang sering tersembunyi’. Nyaris senada dengan Chomsky, Jean Paul Sartre menyatakan misi para intelektual adalah untuk menghalau kedunguan, prasangka serta emosi yang keliru, menghindarkan `dogmatisme yang steril’ sehingga masyarakat diantarkan untuk mengubah dirinya di dalam dan melalui sejarah.
(taufikhidayat.net/cendekiawan_reformasi_dan_masyarakat_madani.htm)

Definisi Ulama:
Ulama adalah pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayom, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupum masalah sehari hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan.
(id.wikipedia.org/ulama.htm)

Kata ulama, dalam bahasa Arab, berasal dari kata 'alim (orang yang berilmu). Bentuk pluralnya (jamak) berubah menjadi kata 'ulama. Secara harfiah, kata ulama berarti "orang-orang yang berilmu." Di samping itu, kata 'alim juga sering digunakan untuk menyebut orang yang memiliki kapastitas keilmuan tertentu (Nurcholish Madjid, 1994: 96).
(suarakaryaonline)

Fungsi ulama:
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Dr Umar Shihab mengatakan fungsi ulama bukan hanya terbatas penerangan pada bidang agama, tetapi pada bidang lain sesuai dengan keahliannya. "Jadi fungsi ulama itu luas, selama ini orang hanya tahu bahwa ulama itu hanya terbatas pada bidang agama, padahal hakikatnya untuk kehidupan dunia," ujar Umar Shihab di Jakarta kemarin, sehubungan dengan adanya ulama ikut dalam kancah politik.
Menurut Umar Shihab, peran ulama di masyarakat berupaya menenangkan umat, sekaligus mengalang persatuan dan kesatuan demi kedamaian umat. Sifat ulama itu harus dapat mendamaikan dan dapat menentramkan umat, setiap ucapannya membawa kesejukan di hati.
Ulama, lanjut Umar Shihab, adalah pewaris para Nabi, sehingga ulama menjadi panutan sehari-hari. Namun, jika ada ulama yang "menyimpang" dan membuat pertentangan di masyarakat, tentu yang salah bukan ulamanya, melainkan pribadi-pribadinya. "Ulama itu manusia yang bisa saja berbuat salah. Yang tidak salah itu perilaku Nabi yang memang ma'sum. Tidak benar jika ulama itu selalu benar, sebagai manusia pasti ada salahnya."
Sebagai seorang ulama, Umar Shihab mengingatkan kepada ulama yang lain bahwa jika dalam tingkah laku ulama itu menyimpang, seharusnya segera sadar, bertobat, minta ampun kepada Allah SWT.
Umar Shihab mengakui dalam kehidupan sekarang ini, banyak keterlibatan ulama pada bidang politik. "Politik itu bisa timbul khilafiyah, berbeda pendapat. Antara ulama yang satu dengan lainnya pun sering berbeda pendapat."
Untuk itu, lanjut Umar Shihab, ulama harus menempatkan diri mengikuti sifat Nabi, sehingga tidak kehilangan kredibilitas, memiliki sifat pemaaf dan mencari kemaslahatan untuk orang banyak. Selain itu ulama juga harus menghindari dari kemungkinan "timbulnya fitnah" di masyarakat. Itu memang harus dilakukan."
Siapa yang mengawasi ulama? Menurut Umar Shihab, masyarakat ikut mengawasi para ulama, sehingga mereka dapat memilih ulama mana yang menjadi panutan. MUI juga berupaya menasihati, jika ada ulama yang "menyimpang" dengan mengatakan bahwa tindakannya baik atau buruk. "Itu tidak perlu dipublikasikan ke masyarakat. Ini ajaran Nabi."
Majelis Ulama Indonesia pun selalu berusaha mengajak umat, bukan yanya terbatas untuk golongan bawah tapi kepada pemimpin untuk kembali kepada agama dan ketetapan Allah.
Umar Shihab mengungkapkan, ulama tidak dilarang berpolitik. "Kalau ulama berpolitik untuk mendapatkan kedudukan dalam usahanya memberikan manfaat kepada masyarakat tidak dilarang. Ketua Komisi Fatwa MUI KH Ma'ruf Amin anggota DPR dari PKB. Di PKB dia bicara politik, tapi di MUI dia harus bicara sesuai dengan ketentuan agama."
Sementara itu Sekretaris MUI DKI Jakarta Drs KH M Hamdan Rasyid MA mengatakan, tugas yang dipikul seorang ulama itu sangat berat. Ia harus selalu menyampaikan segala yang tersurat dan tersirat dalam al-Qur'an sebagai suatu kewajiban, di samping harus dapat memberikan penjelasan dan pemecahan mengenai berbagai problema yang dihadapi masyarakat, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial maupun budaya berdasarkan al-Qur'an.
Menurut Hamdan Rasyid, agar para ulama dapat melaksanakan tugas-tugasnya -- terutama dalam memberikan petunjuk dan bimbingan agama kepada masyarakat -- maka mereka harus mampu memahami dan mengantisipasi problema-problema yang dihadapi masyarakat, sekaligus mencarikan alternatif pemecahannya.
Alternatif tersebut, lanjut Hamdan Rasyid, antara lain mengembangkan pemahaman para ulama dalam bidang agama. Dengan demikian, mereka tidak hanya berpegang pada satu penafsiran ayat atau satu madzhab saja, melainkan memiliki wawasan agama dalam berbagai penafsiran dan madzhab. Bahkan mampu mengembangkan prinsip-prinsip ajaran Islam, sehingga mampu menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
"Alternatif lain adalah melengkapi disiplin ilmu agama yang telah dikuasai dengan berbagai disiplin ilmu lain yang sangat diperlukan dalam memberikan solusi terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat modern," ucap Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hamidiyah Depok.
Dengan demikian, papar Hamdan Rasyid, para ulama diharapkan mampu memberikan bimbingan kepada masyarakat serta menjawab berbagai persoalan umat dengan menggunakan berbagai pendekatan, baik pendekatan sosial, kultural, politik, maupun yang lain sesuai dengan permasalahan yang dihadapi umat.
Bimbingan yang dilaksanakan, kata Hamdan Rasyid, hanya melalui pendekatan teologis murni, pada dasarnya mencerminkan ketidak mampuan atau keengganan ulama untuk mempertautkan ajaran agama dengan persoalan zaman. Bimbingan semacam ini, kemungkinan akan dirasakan oleh umat yang gelisah sebagia bimbingan yang steril dan hampa, tidak cukup memberikan petunjuk mengeni langkah-langkah nyata untuk mengatasi persoalan zaman.
Namun, kata Hamdan Rasyid, persoalannya bahwa ulama kini semakin langka. Artinya ulama yang betul-betul mempunyai integritas moral dan ilmu pengetahuan kini sudah sangat jarang. Untuk itu, perlu pengkaderan ulama yang diharapkan dapat menyongsong masa depan
Hamdan Rasyid mencontohkan bahwa manusia itu cenderung materialistik, tanpa menghiraukan nilai moral, sehingga rezeki yang diperolehnya tidak dengan jalan halal. "Yang penting "dapat kenikmatan di dunia. Selain itu orientasi masyarakat sekarang tidak lagi untuk menjadi ulama, tetapi bagaimana menjadi pegawai."
Oleh karena itu, ucap Hamdan Rasyid, kini dibutuhkan ulama yang berorientasi ke depan, memiliki jiwa mendidik dan membina umat Islam.
(harian umum pelita, jumat 02 okteober 2009)

Definisi Kiai:
Bagi pemahaman Jawa, Kiai atau Kyai adalah sebutan untuk "yang dituakan ataupun dihormati" baik berupa orang, ataupun barang. Selain Kiai, bisa juga digunakan sebutan Nyai untuk yang perempuan. Kiai bisa digunakan untuk menyebut :
1.Ulama atau Tokoh, contoh: Kiai Haji Hasyim Muzadi
2.Pusaka, contoh: Keris Kiai Joko Piturun, Gamelan Kiai Gunturmadu
3.Hewan, contoh: Kerbau Kiai Slamet, Kuda Kyai Gagak Rimang
4.Makhluk Halus, contoh: Kiai Sapujagad (Penunggu Merapi)
5.Orang yang sudah meninggal (meskipun berusia muda). Bisa dilihat di nisan pada kompleks makam masyarakat Jawa.

Kiai bagi Masyarakat Banjar adalah gelar bagi Kepala distrik, bukan ulama. Di Jawa disebut wedana, gelar ini berasal dari nama jabatan menteri Kerajaan Banjar. Pemerintah Hindia Belanda mengalihkan nama ini untuk nama jabatan kepala distrik untuk wilayah Kalimantan. Misalnya, Kiai Masdhulhak, seorang kiai yang meninggal dalam pemberontakan Hariang, Banua Lawas, Tabalong, tahun 1937.
(id.wipipedia.org/kiai.htm)

Fungsi Kiai:
Menurut KH. Mustofa Bisri atau Gus Mus : “Fungsi kiai sebagai salah satu alat kontrol kekuasaan, maka setiap pemuka agama seharusnya memiliki integritas tinggi. Karena integritasnya itu, pengaruh mereka menjadi lebih kuat dari kekuasaan yang dihadapi, tapi di sisi lain tidak membuat kekuasaan menjadi mandul dan kontraproduktif karena tekanan pemuka agama”
Kiai yang memiliki integritas paling tidak kiai yang mau secara terus menerus melakukan kajian ulang tentang tradisi pesantren, yang tidak melupakan sejarah awal pendirian pesantren, yang ternyata mampu berdiri sendiri baik secara ekonomi dan pendidikan, tanpa bantuan siapapun.
(gpansor.org/Kiai Berpolitik _ Gerakan Pemuda Ansor.htm)

1 komentar:

  1. wah,,,,, lumayan buat contekan nanti malam,,,,
    ulangan IKD
    kewkekwek

    visit my blog
    www.bogorloker.blogspot.com

    BalasHapus