Rabu, 15 Juli 2009

BAB II
INFILTRASI
Ideologi Wahabi-Ikhwanul Muslimin Di Indonesia

Diresensi oleh Kamil Nurshobah

Pada bab II di jelaskan tentang asal-usul teologi wahabiyah, ikhwanul muslimin dan Hizbut Tahrir. Dewasa ini Dunia Islam sedang diguncang isu terorisme masyarakat Barat. Timbulnya pemboman di berbagai tempat, penjarahan yang dilakukanoleh sebagian kecil oknum itu sangat meresahan masyarakat, baik muslim maupun non muslim. Akhirnya para pelaku itu tetangkap dan diadili. Dalam proses persidangan, mereka berkata “ ini adalah Jihad, panggilan suci untuk menegakan agama yang diridhai Allah SWT, mereka yang di bom merupkan orang-orang kafir, tempat-tempat maksiat yang harus di bumi hanguskan.

Dari uraian diatas kita dapat menangkap bahwa akhir-akhir ini timbul dikalangan masyarakat elit tertentu yang mengklaim dirinya dan organisasinya ; madzhabnya merupakan yang paling benar. Klaim kebenaran sepihak ini merupakan klaim yang sangat berbahaya karena akan memecah persatuan yang moderat, konsisten dan Islam yang santun. Mereka lupa bahwa Nabi Muhammad SAW diutus kedunia ini sebagai rahmat bagi seluruh alam dan menyempurnakan kemuliaan akhlaq. Tapia pa yang dilakukan oleh sebagian kecil oknum yang merubah misi dan tujuan itu dengan kekerasan ? akibat perbuatan mereka semua umat Islam dianggap sebagai “ Teroris”.
Didalam buku ini dijelaskan tentang karakter-karakter seperti itu, dijimpai pada ideology khawarij, wahabi, misalnya;
1. Dari segi keyakinan agamanya, mereka bersikap rigid dan literalis yang sangat menekankan symbol-simbol keagamaan daripada substansinya. Mereka menganggap bahwa doktrin agama telah mengatur segala-galanya. Agama dinilainya sebgai sebuah system yang lengkap dan mencakup pula berbagai subsistem didalamnya.
2. Sikap dan pandangan yang ekslusif yaitu pandangan yang bertolak dari keyakinan bahwa pandangan dan keyakinan merekalah yang paling benar, sedangkan sikap dan pandangan orang lain yang tidak sejalan dengan mereka dianggap menyeleweng dan harus disingkirkan / dikutuk. Akibat sikap dan pandangannya ini, mereka cenderung tertutup.
3. Dari segi budaya dan social, kehidupan mereka tyerkesan kolot, kuno bahkan cenderung nyeleneh. Hal ini dapat terlihat dalam menyikapi berbagai produk budaya modern, sungguhpun pada tataran yang sifatnya cultural, seperti pakainan, alat-alat keperluan kebersiahan dan lain sebagainya.
4. Dari segi bentuk dan gerakannya, merteka cenderung memaksakan kehendak dengan menggunakan berbagai cara termasuk cara-cara kekerasan, seperti propaganda, hasutan, terror, pembunuhan dan lain-lain. Dengan sikapnya yang demikian mereka dianggap sebgai kelompok radikal, panatik, militant, bersemangat secara berlebihan.
Dengan ciri-ciri diatas dapat dikategorikan sebagai gerakan “ Pemikiran Tradisional :, baik itu disebut sebagai kaum fundamentalis, Teologis Normatif maupun Islam Ekslusif.
Didalam Bab II ini di kemukakan bahwa gerakan-gewrakan ekstrim yang terjadi didunia Islam khususnya Indonesia merupakan kerpanjangan tangan dari gerakan-gerakan Timur Tengah, seperti wahabi, Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir. Walaupun berbeda-beda cara penyampaiannya, namun mereka bersatu padu dalam mewujudkan tujuan ,yaitu Formalisasi Islam dalam\ bentuk Negara khilafah Islamiyah yang didalamnya diterapkan hokum syari’ah sebagai hokum positif.
Ketiga gerakan ini dalam melakukan retrumen anggotanya melakukan tiga tahapan pembinaan, yaitu ta’rif (pengenalan dan pemahaman ajaran ), takwin (pembentukan pribadi sesuai ajaran dan tahfidz (eksekusi ajaran ). Dengan dukungan dana, terencana dan sstermatis gerakan ini terus menyebarkan doktrin-doktrinnya.
Banyak dari tokoh-tokoh atau individu-individu aktivis garis keras dari keras local yang berafiliasi dengan salah satu gerakan transnasional itu, disebabkan beberapa faktor, seperti keuntungan financial, kesempatan untuk mendapatkan kekuasaan, dislokasi sosial dan lemahnya pemahaman atas ajaran agama, terutama dalam hal spiritual.
Dilihat dari fakta sejarah ketiga gerakan transnasional ini mengalami pengusiran penindasan dan selalu bermusuhan dengan pemerintahan yang berkuasa namun tidak sejalan dengan ideologinya, Misalnya Ibn Abdul Wahab pendiri wahabi berpindah-pindah temapat dari suatu daerah kedareah lain yang akhirnya mengemukakan aliansi permanen denagna Muhammad Ibn Saud seorang politikus cerdas yang melahirkan kerajaan Saudi Wahabi modern. Pengusiran Ibn Abdul Wahabi ini karena pemahamnnya yang ekstrim, ekslusif, literalisme tertutup yang berakibat pada adanya klaim “kebenaran sepihak”. Gerakan wahabi ini terutama setelah mendapatkan dukungan mulai melancarkan aksinya ke berbagai daerah terutama mekah dan Madinah sebagai pusat kegamaan dan ekonomi untuk menyebarkan ajarannya yang menolak rasionalitas, tradisi, budaya dan khazanah intelektual Islam. Mereka selalu membunuh serta merampas kekayaan dan wanita ; menghancurkan kuburan dan peninggalan-peninggalan bersejarah; mengharamkan tawasul, isti’ana dan istighasah; syafaat, tabrruk dan ziarah kubur; memvonis musyrik, murtad dan kafir kepada siapaun yang tidak sesuai dengan ajaran agama mereka.
Setiap konklusi yang dihasilkan dari metode yang tidak baik, maka akan menimbulkan aksi-aksi yang tiadak baik pula . Itulah kiranya yang dimaksud oleh peneliti ini.
Akibat dari Gerakan yang militant ini mengakibatkan gerakan “pemurnian” ini di kecam oleh kalangan muslim sendiri maupun non moslim. Kecaman-kecaman itu misalnya dating dari Abdul Wahab seorang hakim yang diberhentikan dari jabatannya dan harus meninggalkan uyainah akibat ulah dari anaknya sendiri, yaitu Muhammad Ibn Abdul Wahhab, penolakan juga datang dari kakak kandungnya yaitu Sulaiman Ibn Abdul Wahab Sayyid Ahmad Ibn Zaini Dahlan (Mufti Mekkah pada masanya), Ayatullalah Khomeini (Pemimpin Iran), Muslim Bosnia dan orang-orang Barat sangat menolak Wahabi.
Perkawian antara wahabi dan Muhammad Ibn Said ini menciptakan dua otoritas yaitu Agama yang di pegang kalangan wahabi dan politik yang dipercayakan kepada Muhammad Ibn Said.
Pengaruh Wahabi terhadap Indonesia, terlihat dalam kasus Perang Paderi. Dimana gerakan Paderi ini berawal dari perkenalan Haji Miskin, H. Abdurrahman dan H. Muhammad Afif dengan Wahabi saat menunaikan ibadah haji pada awal abad 19, yang ketika itu al-Harmain dikuasai oleh Wahabi yang berbeda sekali pemikirannya dengan K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan K.H Hasyim Asy’ari (Pendiri NU) yang lebih menghargai moderat dan mengutamakan persatuan . Hal tersebut dapat dimaklumi karena pada saat kedua kiai tersebut menunaikan haji, kedua kota tersebut Mekkah dan Madinah belum dikuasai Wahabi sehingga mereka disana selalu berdialog dengan berbagai macam aliran.
Dalam kasus perang Paderi ini, Para Paderi menyerang para pemimpin adat / Masyarakat yang masih melakukan ritual-ritual dengan cara kekerasan.
Ikhwanul Muslimin didirikan oleh Hasan Al-Banna pada tahun 1928 di Mesir dengan tujuan untuk melawan penjajah, mengatasi kemunduran peradaban Islam dan membawa umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang murni. Menurut peneliti ideology dan system gerakannya mengambil dua ideology dari Eropa, yaitu “fasisme” Italia, Ikhwanul Muslimin mengadopsi system totalitarianism dan Negara sentralistik, namun menolak nasioanalisme. Dari komunisme Unisoviet, mereka mengadopsi totalitarianism, system penyusupan dan perekrutan anggota, strategi gerakan dan internasionalisme, namun menolak ateis. Namun kita dapat memahami bahwa setiap penukiran itu tidak terlepas dari pemikiran sebelumnya. Akibat dari fakta tersebut sehingga para ahli sering menyebutnya sebagai Islamofasisme, yakni sebuah gerakan politik yang bertujuan mewujudkan kekuasaan mutlak berdasarkan pemahaman mereka atas Al-Qur’an. Gerakan ini dibangun melalui jaringan tarekat.
Infiltrasi antara Wahabbi-Ikhwanul Muslimin sudah terjadi cukup lama, terutama saat pengusiran anggota-anggota ikhwan oleh para penguasa Mesir terutama Gamal Abdul Naseer yang bergerak dengan gagasan Pan Arabisme berdasarkan sosilisme dan merekapun lari keberbagai Negara yang bisa memberikan suaka politik kepadanya. Salah satu wilayah yang menerima, yaitu Saudi-Wahabbi yang juga merasa khawatir dengan gerakan Pan-arabisme sosialismenya Nasser. Keduanya menyatu membentuk suatu simiosis mutualisme yang saling melengkapi. Dari wahabi, Ikhwanul muslimin mendapatkan dana, sebaliknya Wahabbi menerima orang-orang terdidik untuk menyebarkan ideologinya.
Pada tahun 1952 di Jerussalem timur yang dikuasai Yoradnia seorang Ulam bernama Taqiyuddin Al-Nabhani mendirikan sebuah organisasi Hizbut Tahrir. Hal ini akibat kekecewaanya terhadap Ikhwanul Muslimin yang terlalu moderat dan terlalu akomodatif terhadap Barat. Menurut Al-Nabhani umat Islam saat itu sudah dicemari penukiran dan emosi kapitalisme, sosialisme, nasionalisme dan sektarianisme. Dia mencita-citakan mendirikan mendirikan kembali khilafah Islamiyah yang dihancurkan oleh Kemal Ataturk Turki Usmani yang merupakan Khilafah terakhir
Gerakannya ini menghalami berbagai penolakan karena sifat radikalisme dan sikap agresifnya gerakan yang dibinanya. Pusat gerakannya saat ini berada di Inggris.
Hizbut Tahrir mengklaim gagasanya merupakan murni Islam. Padahal menurut mantan pemimpin Hizbut Tahrir di Inggris pemikiran al-Nabhani dipengaruhi oleh pemikiran tokoh-tokoh Eropa, seperti Hegel, Rousseau. Hanya saja, al-Nabhani mengganti term-term yang berasal dari Barat dengan term-term berbahasa Arab sehingga bernuansa Islam.
Tiga tahap perjuangan Hizbut Tahrir
1. Membangun Partai (Hizb)
2. Berinteraksi dengan masyarakat
3. Merebut kekuasaan
Menurut peneliti ketiga gerakan Trannasional ini melahirkan geakan-gerakan kekerasan didunia Islam ataupun Wahabisasi global, penyebaran ideology, yang antara lain yaitu : al-Qaedah, Taliban, Jaringan Islam, DDII, LIPA, FPI, FUI, Laskar Jihad, MMI, PKS, KPPSI dan sebagainya melalui gerakan terselubung ini mereka berharap bisa menyebarkan ideologinya, karena kalau dilakukan secara terbuka, maka masyarakat yang mengetahui tentang sejarah pembentukan organisasi yang bersifat trannasional ini pasti akan menolak.
Mereka-gerakan transnasional banyak memberikan dana beasiswa, penyebaran dan penerjemahan buku-buku gagasan para tokoh gerakan tran nasional, pendirian lembaga pendidikan, sosial dan budaya.

Pandangan Pribadi :
Dengan membaca buku ini kita dihadapkan pada realitas bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna, dengan membaca buku ini kita bisa menjadi lebih dewasa dalam menyikapi fenomena kehidupan. Kita dituntut bijaksana dan saling menghargai, tidak berlebihan dalam segala hal karena Nabi kita Muhammad SAW mengajarkan tentang konsep “ Pertengahan “, karena kalau berlebihan dalam sesuatu maka akan merusak sesuatu yang sedang dilakukannya itu. Kita bisa membandingkan antara buku yang satu dengan bacaan yang lain-lain yang berbeda pendapat, sehingga wawasan kita menjadi luas.

BAB III
Ideologi dan Agenda
Gerakan Garis Keras di Indonesia
Diresensi oleh HD. Gumilang MN
Pada bab ini dijelaskan antar lain:
Islam moderat merupakan salah satu sosok keislaman yang memahami dan mengakui keberagaman di buki ini sebagai rahmat Ilahi. Umat islam moderat memahami huku Allah bahwa Allah mengatur segala aspek kehidupan manusia,. Sebagai seorang hamba sejati yang mampu menjalankan amanah Allah sebagai khaifah fil ard, untuk memakmurkan dan melestarikan bumi bagi segala mahlukNya.
Kemampuan ini tidak diperoleh hanya dengan kemampuan inteletualitas, pemahaman tekstual maupun kekuasaan politik, akakn tetapi dari kelapangan hati dan kesadaran spiritual yang mampu menampung kehadiran Ilahi. Dan mereka mencapai derajat muhsinin dan muhlisin layaknya wali Allah.
Di sisi lain, pemahaman dan keberagamaan kelompok garis keras dikatakan dalm buku ini sangat jauh berbeda dengan kelompok islam moderat. Pada satu sisi sebagai akibat dari pemahaman literal, sempit dan terbatas pada ajaran islam, mereka lebih menekankan kepada keberadaan lahiriah dan abai terhadap keberadaan batiniyah. Simbol, identitas dan kuantitas bagi mereka lebih penting dibandingkan tingkat kesadaran kualitas dalam pemahaman agama. Itulah yang menyebabkan kelompok islam garis keras cenderung memaksakan keberadaan islam secara legar formal dalam bentuk syariat isla, Negara islam dan lain yang sejenis dengan hal tersebut.
Menurut buku ini, para agen garis keras dengan licik memanfaatkan keyakinan umat islam bahwa Allah mengatur semua aspek kehidupan manusia, menjadikannya sebagai entry point bagi garis keras sendiri untuk mengatur dan menguasai rakyat. Sedangkan agenda garis keras sendiri adalah menjadi khalifah Allah di bumi, padahal yang bisa menjadi khalifah Allah dibumi adalah mereka yang telah mencapai kualitas muhsinin dan muhlisin. Artinya buku ini menyebutkan bahwa yang layak menjadi khalifah Allah di bumi adalah umat islam moderat dan bukan kelompok radikal.
Ideologi kelompok islam radikal adalah totalitarian sentralistik, artinya hokum harus mengontrol segala aspek kehidupan umat tanpa kecuali dan Negara mengontrol pemahaman dan aplikasinya secara menyeluruh.pemhaman ini tidak melepaskan antara agama dan politik.
Menurut buku ini fenomena kemunculan agenda politisasi syariah seperti yang muncul dibeberapa daerah di Indonesia melalui peraturan otonomi daerah yang menyebabkan setiap daerah berhak untuk menerapkan syariat islam dalam perdanya bukanlah sesuatu yang murni akan kebutuhan tatanan hokum dan keagamaan, melainkan karena kebutuhan penegasan identitas dan keuntungan politik.
Menurut hemat buku ini obsesi penerapan syariat islam sangat jelas bertentangan dengan konstitusi. Namun menurut mereka kelompok garis keras menemui celah untuk penerapan syariah yaitu melalui otonomi daerah. Artinya mereka berfikir bahwa sulit untuk penerapan islam secara konstitusional maka ditempuhlah cara yang istilahnya “desa menegpung kota” yakni melalui formalisasi penerapan syariah di daerah-daerah hingga nanti ketika sebagian besar daerah telah menerapkan hokum islam secara regional maka penerapan islam secara nasional hanyalah menunggu waktu.
Penerapan islam sebagai syariat sebagaimana disinyalir oleh buku ini adalah agenda kelompok yang dicap garis keras, seperti HTI dengan “Selamatkan Indonesia dengan Syariah”, MMI dengan “Penegakan syariah memalui institusi Negara merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi kemelut bangsa”, FPI dengan “Krisis multidimensi akan berakhir dengan diberlakukannya syariat islam” atau PKS dengan “islam adalah solusi”.
Alasan-alasan kelompok tersebut ditentang oleh buku ini dengan mengatakan bahwa idealisme mereka yang mengatakan bahwa agama islam adalah agama yang sempurna sangatlah tidak realistis. Kerena umat beragama lain pun mengakui bahwa agamanyalah yang paling sempurna. Buku ini mengaggap kelopok garis keras mengada-ada dengan alasan tersebut dengan dalih bahwa syariat islam telah diterapkan di negeri ini secara berabad-abad.
Buku ini mengklaim keberadaan gerakan-gerakan diatas merupakan konsekuensi berkembangnya paham wahabi di negeri ini. Sebab mereka mengaitkan sikap dan sifat kelompok garis keras di negeri ini sangat identik dengan gerakan yang terjadi di timur tengah. Kebanyakan mereka pemimpinnya adalah keturunan arab atau setidaknya mereka pernah belajar di timur tengah yang kemudian kehilangan tradisi keberagamaannya (mungkin keberagamaan yang keindonesiaan, peresensi) dan berubah menjadi berhaluan ikhwanul muslimin atau wahabisme.
Buku ini mengklaim gerakan pemberlakuan syariat islam di daerah-daerah adalah suatu bentuk menegcilkan ketetapan Allah, mengecilkan keluasan rahmat Allah bahkan kebesaran Allah ke dalam kotak kecil perda syariah.
Buku ini mengkritik Negara-negara yang telah menerapkan syariat islam dnegan mengatakan bahwa meskipun Negara tersebut islami akan tetapi degradasi moral, korupsi dan lain sbegainya tetap saja merajalela. Dan menyebutkan bahwa penerapan syariah justru sangat mengganggu kedamaian negari ini.
Penentangan penerapan syariat islam mucnul dari PKB melalui KH> Abdurrahman Wahid (sebenarnya sangat disangsikan pula jika Gus Dur mengatas namakan penentangannya itu dengan membawa-bawa PKB, peresensi) yang mengatakan penerapan syariat islam sebagai kudeta terhadap konstitusi.
Pun dengan Syafii Maarif sebagai tokoh Muhammadiyah yang menyebutkan bahwa isu penerapan syariat islam sangat megancam perpecahan tidak hanya di kalangan muslim dan non muslim akan tetapi dikalangan muslim itu sendiri.
NU pun menentang keberadaaan islam secara politik dengan alas an bahwa mengacam integrasi bangsa.
Buku ini mengkritik PKS yang mendukung keberadaan syariat islam dalam perda-perda sebagai bagian yang mengancam demokrasi yang lebih besar dibandingkan dnegan jamaah islamiyah misalnya.
Para penentang syariat melemparkan fakta dari studi penelitian yang diselenggarakan oleh CSRC UIN Jakarta yang menunjukkan bahwa penerapan syariat isla tidak membawa kehidupan yang lebih baik. Bahkan dikatakan terjadinya pemaksaan penerapan syariat kepada non muslim seperti kasusu dicianjur.
The Wahid institute juga mensinyalir hal serupa dalam penelitiannya di Padang Sumatera Barat. Yang menyebutkan adanya pemaksaan kepada non muslim terhadap penerapan aksesoris berbau islami.
Ketika penerapan jilbab dianggap sebaga suatu permasalahan khilafiah dalambuku ini dengan dalil bahwa penerapan jilbab oleh ulama dan yang melarang dan ada yang mewajibkannya sebagai alas an penindasan kepada kaum perempuan yang tidak berjilbab dan mengemukakan alasan bahwa umat kristiani dan yahudi di eropa tengah dan timur tengah juga memakai jilbab.
Pertentangan yang terjadi antara kelompok agris keras dengan umat islam moderat yang diwakili oleh NU dan Muhammadiyah yang mengatakan bahwa syariat islam bisa dijalankan tanpa perlu penerapan syariat islam secara kesesulurhan sebagai konstitusi Negara melainkan bisa dilakukan secara individu.

Pandangan Umum Peresensi
Buku ini secara terbuka menyebutkan adanya agenda tertentu dari kelompok yang disienyalir garis keras yaitu HTI, PKS, FPI, FBR, MMI dan kelompok sejenisnya dengan berbagai fakta serta data hasil penelitian yang dimaksudkan untuk menyakinkan pembaca.
Sebenarnya sungguh ironis jika hal ini terjadi, buku ini justru mengeneralisai ormas-ormas islam dalam kotak-kotak pro-kontar terhadap syariat islam.
Jelasnya buku ini menentang penerapan syariat islam dengan alasnan bahwa jika islam diterapkan sebagai konstitusi maka akan timbul disitegrasi bangsa dan menjustifikasi bahwa yang berobsesi terhadap penerapan syariat islamadalah orang yang tidak memahami islam secara menyeluruh.
Namun sedikit dicurigai, buku ini seolah menjadi pembela non muslim dibandingkan sebagai satu kesatuan islam. Mereka lebih mudah membongkar “aib” saudaranya sendiri dibandingkan agenda non muslim yang juga jelas-jelas merongrong kebradaan islam itu sendiri.

BAB IV
INFLITRASI AGEN-AGEN GARIS KERAS
TERHADAP ISLAM INDONESIA

Diresensi oleh Wawan Setiawan

Dikatakan bahwa penyusupan agen-agen garis keras terhadap Islam Indonesia semata-mata hanyalah kepanjangan tangan dari DI/ TII/ NII yang memang ingin mendirikan sebuah Negara yang berlandaskan Islam. Dalam buku ini juga dikatakan bahwa yang termasuk agen-agen garis keras, yaitu PKS, HTI, dan Tarbiyah Ikhwanul Muslimin. Kesemuanya itu adalah bercita-cita ingin mendirikan sebuah Negara yang berlandaskan Islam.
Sedangkan ada metode atau teori yang digunakan oleh para agen garis keras dalam melakukan usahanya untuk menyusup ke dalam Islam Indonesia, yaitu, menggunakan teori “bubur panas”. Teori ini dianalogikan jika ingin menyusup secara aman, maka harus melalui pinggir terlebih dahulu setelah itu barulah menuju ke tengah-tengah yang sudah mulai dingin.
Ada juga istilah yang dibawa oleh agen-agen garis keras adalah “transnasional”, yaitu lintas Negara. Istilah ini dikatakan dalam buku ini sangat bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar Negara bahkan yang lebih radikal lagi adalah ingin mengganti dasar Negara tersebut dengan dasar Negara yang berlandaskan Islam. Istilah “transnasional” atau lintas Negara direfleksikan dengan dengan mengadakan proses infiltrasi ke dalam instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah. Dimulai dengan menyusup ke Muhammadiyah. Kebanyakan dikatakan dalam buku ini banyak menyerang PKS yang hampir mengambilalih dominasi di Muhammadiyah sehingga Muhammadiyah mengeluarkan SKPP tentang kebijakan pimpinan pusat Muhammadiyah mengenai konsolidasi organisasi dan amal usaha Muhammadiyah.
Infiltrasi selanjutnya adalah ke dalam tubuh Nahdatul Ulama yang disusupi oleh kelompok Hizbut Tahrir Indonesia yang tentu saja berlawanan dan tidak bersesuaian dengan pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Infiltrasi ini ingin mendirikan konsep Khilafah Islamiyah yang juga ingin mengganti dasar Negara Indonesia dengan konsep Islam sebagai dasar Negara dan sekaligus menolak paham demokrasi.
Penyusupan selanjutnya adalah ke dalam tubuh MUI yang memang jika dilihat dari segi Historisnya bahwa MUI adalah produk Orde Baru yang diciptakan oleh Presiden Soeharto untuk mendapatkan legitimasi dari rakyatnya. MUI yang yang telah disusupi oleh agen-agen garis keras dimanfaatkan untuk mengeluarkan fatwa yang tidak berdasar dan ingin memurnikan Islam dan sungguh ini akan berlawanan dengan pluralisme yang ada di Indonesia itu sendiri. Faktanya fatwa MUI ini sangat otoriter sekali memberantas perbedaan yang ada sehingga suka tidak suka haruslah dipatuhi.
Infiltrasi selanjutnya adalah dalam lembaga pendidikan. Ini adalah hal yang paling parah karena berangkat dari sinilah ditanami doktrn-doktrin oleh agen-agen garis keras. Dengan fakta seorang anak dapat mengkafirkan orangtuanya di loud speaker masjid karena sudah masuk waktu shalat masih di depan televisi. Begitu juga dengan para remaja yang ingin menambah pengetahuan agama dengan memasuki LDK. Sialnya lagi ketika seorang guru yang beraliran garis keras yang memberi nilai jelek jika tidak sepaham dengannya. Selain itu juga penyusupan sudah mulai dirasakan di tubuh para calon intelektual bangsa, yaitu Mahasiswa. Proses ini dianalogikan dengan gerakan Wahabi (Khawarij).
Selanjutnya adalah infiltrasi ke dalam lembaga pemerintah dan swasta. Dengan dikeluarkannya Perda-perda Syari’ah ini menidentifikasikan bahwa agen-agen garis keras sudah mulai menyusup. Terlebih antar parpol yang berlabelkan Islam demi terwujudnya Negara Islam dalam hal ini adalah PKS. Penyusupan dimulai dari hal yang kecil, seperti masjid dengan fakta ketika dalam masjid tersebut telah ada pengajian yang tetap dan setelah disusupi oleh agen-agen garis keras, maka pengajian diambilalih dan yang tidak sepaham disingkirkan.
Namun ada kelemahan dalam penelitian buku ini Karena tidak secara eksplisit apa yang dimaksud dengan aliran garis keras dan hanya memukul secara rata terhadap seluruh yang ingin mewujudkan Negara Islam. Padahal dalam kenyataannya Islam itu tidak harus diwujudkan dalam bentuk sebuah Negara yang terpenting esensi dari Islam itu terdapat dalam sebuah negara. Penelitian dalam buku ini banyak menyerang PKS, HTI, Tarbiyah Ihkwanul Muslimin yang sekali lagi dipukul rata sebagai agen-agen garis keras. Penulis juga harusnya menyadari bahwa tulisan ini bukanlah sebuah suatu kesimpulan, akan tetapi sebuah fakta yang belum tentu kebenarannya dan menurut saya ini semua diambil dari sudut pandang penulis saja.

0 komentar:

Posting Komentar