Rabu, 15 Juli 2009

RESENSI BUKU
Judul Buku : Islam Menjadi Kuda Tunggangan
Penulis : Kholid O. Santosa (ed)
Penerbit : Sega Arsy, Bandung
Tahun Terbit : 2007
Tebal Buku : 180 hlm

Buku ini merupakan kumpulan catatan mengenai seputar dunia politik dan pergerakan islam di Indonesia yang dihimpun oleh editor untuk menjadi sebuah tulisan yang berbotot yang dapat dimanfaatkan oleh kalangan akademisi dan umum.

Secara garis besar, buku ini terdiri dari tiga bab topik pembahsan yang segmentasinya berbeda-beda. Lalu ada daftar sumber tulisan yang dihimpun oleh editor dari berbagai sumber.
Untuk lebih jelasnya akan dirangkum intisari isi buku tersebut dalam penjelasan dibawah ini.

ISI BUKU:
Bagian ini merupakan susunan judul tulisan yang ada dalam buku berdasarkan halamannya, yang memudahkan pembaca untuk menelaah bagian yang memang ingin dibacanya sehingga tidak timbul suatu kebosanan atau setidaknya dapat mengefisiensikan waktu pembaca dalam membaca suatu judul tulisan.

PENGANTAR PENERBIT:
Penerbit dalam memulai pengantarnya memakai konotasi kuda sebagai suatu hewan yang tangkas dan cepat dalam berlari, yang karena memiliki kelebihan tersebut seing dimanfaatkan manusia sebagai kuda tunggangan bahkan menjadi kuda pacuan.
Lalu dikaitkannya dengan dinamika pergerakan politik islam di Indonesia, khususnya mengenai islam itu sendiri, dimana penerbit mengatakan bahwa islam di Indonesia secara analogi tak lebih dari kuda tunggangan yang dimanfaatkan oleh penguasa dari masa kemasa.
“Umat islam yang berperan sebagai kuda tunggangan, dalam kasus Indonesia, sudah berlangsung pada masa colonial. Dilestarikan pada masa orde lama dan orde baru. Dan tampaknya tidakn akan berhenti sampai sekarang. Perebutan terhadap umat islam untuk dijadikan sebagai ajang pemenangan pemilu menjadi fenomena yang makin marak.”

Selanjutnya penerbit memaparkan secara kronologis fakta-fakta yang pernah terjadi untuk menguatkan ragrumentasinya terhadap hal diatas.
Lalu penerbit menjelaskan bahwa buku ini terdiri dari tiga bagian, yang pertama adalah catatan-catatan tentang perjuangan umat islam dan kontribusi umat islam dalam perjalanan sejarah Indonesia. Bagian kedua terkumpul catatan-catatan bagaimana dengan peran yang besar itu, umat islam ternyata hanya menjadi “Kuda tunggangan” dan kelompok yang dikorbankan. Sementara bagian ketiga, memperbaiki peta perjuangan umat islam, agar peran umat islam bias dilaksanakan secara benar-benar bagi kemajuan rakyat dan bangsa.



Bagian Kesatu
HIZBULLAH, LASKAR PEJUANG YANG DIBUANG
Menelusuri Jejak Perjuangan Umat Islam

Bagian ini terdiri dari delapan catatan yang secara general berisi mengenai fakta-fakta peranan umat islam dalam mewarnai perkembangan sejarah Indonesia, mulai dari masa perjuangan kemerdekaan hingga dewasa ini. Adapun judul catatan-catatan itu adalah:
• Menguak Kontribusi Pesantren oleh Hery D. Kurniawan
• Sarekat Islam (SI) dan Kebangkitan Nasional oleh Kholid O. Santosa
• SDI-SI Sang Pelopor Kebangkitan oleh Yeni Rosdianti R.
• Hisbullah, Laskar Pejuang yang Dibuang oleh Dwi Hadianto
• Islam Menghadang Komunisme oleh Fadli Rahman
• Andai Piagam Jakarta Dibenarkan oleh KH. Achmad Marzuki
• Jejak Politik Kaum Modernis oleh Hajriyanto Y. Tohari
• ICMI dan Peta Bumi Intelektualisme Islam oleh ahmad Syafii Maarif
Peresensi menitik beratkan pembahasan pada tulisan Dwi hadianto yang diambil oleh editor sebagai judul bagian kesatu.
Ketika pertama kali merdeka, pemerintahan Soekarno-Hatta tidak memasukkan adanya suatu system kemiliteran dalam republic ini, karena ingin mengesankan suatu kesan damai tentang republic Indonesia.
Namun kenyataannya kedatangan sekutu yang dating ke Indonesia ternyata membawa boncengan yaitu NICA (Netherland Indies Civil Administration) yang secara sengaja ingin memulihkan kembali kekuasaan Belanda di Indonesia.
Maka konflik bersenjatapun tidak dapat dihindarkan. Padahal saat itu pemerintah republic belum memiliki tentara regular. Maka pertanyaannya, siapakah yang melayani tantangan perang pasukan sekutu?
Jawabannya adalah tentara Indonesia dibentuk oleh dirinya sendiri, dan islam adalah salah satu rahim yang melahirkan militer.
Militer yang membentuk dirinya sendiriini, tulis Salim Said, mengumpulkan anggota-anggotanya dari berbagai organisasi. Pada dasarnya, terdapat empat sumber rekrutmen militer Indonesia pada saat itu. Pertama, mantan PETA (PAsukan Pembela Tanah Air) yang dilatih jepang. Kedua, mantan KNIL yang bekas tentara colonial belanda, ketiga, lascar-laskar pejuang kemerdekaan yang dilatih oleh jepang selama masa pendudukannya di Indonesia. Keempat orang-orang yang tidak berasal dari ketiga kelompok itu. (hlm 18-19)
Salahs atu lascar rakyat yang penting dan terkuat pada saat itu adalah Hisbullah (lascar santri) dan Sabilillah (lascar kiyai/ulama) yang mempunyai kedekatan dengan masyumi.
Dapat dipahami bila jepang berusaha mendekatkan diri dengan islam pada saat itu (terutama ketika mendekati saat-saat terakhir kolonisasinya) sebab Islam memiliki sumber daya yang amat besar dab memilikis semangat berjuang yang sangat tinggi dengan konsepsi resolusi jihadnya.
Maka pada 3 Oktober 1943, pemerintahan Jepang meresmikan PETA yang didalamnya didominasi oleh unsur islam, mulai dari pimpinannya, anggota-anggotanya maupun atribut panji-panji benderanya, semuanya bernafaskan islam. PAda dasarnya islam menerima kehadiran PETA karena menganggap PETA bias dijadikan sebagai batu loncatan menuju Indonesia merdeka.
Sayangnya jerih payah umat islam dalam usahanya melahirkan ruh militer di indoensia tidak mendapatkan apresiasiyang layak oleh pemerintah. Maka ketika perang fisik telah selesai dan para santri kembali ke pesantren untuk memulai lagi rutinitas pesantren yang selama ini terbengkalai, pemerintah mengambil ini sebagai kesempatan untuk melakukan program rasionalisasi TNI, sebagian anggota TNI yang berasal dari lascar rakyat tersingkir, meski lebih banyak lagi dari laskar hisbullah dan sabilillah yang mengundurkan diri. Hambatan ini sebenarnya dilakukan oleh pemerintah sendiri.
… program pelatihan kembali kepada anggota lascar rakyat yang ingin melanjutkan dinas militer, menyebabkan banyak anggota lascar yang berguguran. Apalagi, ada syarat harus bias berbahasa belanda untuk mengikuti pelatihan perwira di belanda. Akibatnya, hanya perwira-perwira dari KNIL dan sebagian kecil PETA yang lulus. Meski begitu, unsur PETA pada akhirnya juga ‘tersingkir’ setelah wafatnya Panglima Besar Sudirman, ahad, 29 januari 1950. Selanjutnya, di era 1950-an, pimpinan TNI didominasi unsur KNIL, dan perwira-perwira yang menerima pendidikan militer dari belanda dan Negara-negara lainnya. (hlm 24).

Bagian Kedua
BALADA SERAMBI MAKKAH,
KISAH NEGERI YANG DIKHIANATI:
Mencermati Saat Umat Islam Menjadi Kuda Tunggangan

Bagian ini terdiri dali sebelas judul, antara lain:
• Umat Islam Dirangkul dan Dikorbankan oleh M. U. Salman
• Hikayat Cita yang Terganjal Khianat oleh M. Nurcholis Ridwan
• Teungku Daud Beureuh: Pejuang Kemerdekaan yang Berontak oleh Taufik Abdullah
• Balada Serambi Makkah: Kisah Negeri yang Dikhianati oleh Kholid O. Santosa
• Dan NU pun Menjadi Kuda Tunggangan oleh KH. Yusuf Hasyim
• Habis Manis Sepah Dibuang oleh Fauzan Al-Anshari
• Pasar Politik Islam oleh Komarudin
• Eksploitasi Simbol Islam untuk Kekuasaan oleh Ahmad Suhelmi
• Politisasi Agama oleh Ahmad Gaus AF.
• Intervensi Asing dalam Perkembangan Politik Indonesia oleh Kholid O. Santosa
• Tekanan untuk Indonesia dan Islam oleh Sayidiman Suryohadiprojo

Peresensi mencoba memfokuskan perhatian pada tulisan Habis Manis Sepah Dibuang, karena di dalam tulisan Fauzan ini terdapat intisari dari pembahasan bab kedua yaitu mengenai bagaimana peranan umat islam yang sangat besar ini dimanfaatkan untuk kepentingan penguasa.
Islam sebagai agama mayoritas di negeri ini memang menjadi komoditas yang besar bagi para penguasa untuk merangkul umat islam menjadi pendukungnya.
Dalam kalkulasi demokrasi, jumlah umat islam yang sebesar 87,5% dari total populasi penduduk Indonesia (data BPS tahun 2000) dan atau 88% menjadi pemilih salam pemilu 5 april 2004, merupakan “komoditas utama” dalam “dagangan” pemilu berikutnya. Dengan demikian. Setiap kandidat capres dan cawapres harus mampu membeli komoditas tersebut dengan harga pantas. (hlm. 90).
Pesta demokrasi di Indonesia, lebih disebut sebagai pesta uang karena umat islam dalam pesta ini hanya dipossisikan sebagai objek para kandidat untuk mencapai kekuasaannya. Ironisnya umat islam, terpecah belah kedalam banyak partai islam yang mau tidak mau mempengaruhi jumlah wakil umat di parlemen.
Hasil akhir perolehan kursi parlemen dari partai islam dan berbasis massa islam dalam pemilu legislative 2004 hanya 231 dari 550 kursi yang diperebutkan. Ke 231 kursi tersebut (42%) terdiri dari PPP 58 kursi, PKB 52 kursi, PKS 45 kursi, PBR 13 kursi, dan PBB 11 kursi. Kalau dikonvesikan dengan jumlah pemilih, maka 231 kursi tersebut mewakili sekitar 42.602.157 pemilih atau sekitar 34,23% dari total yang berjumlah 124.449.038 pemilih. (hlm. 90).
Sayang memang ditengah situasi yang tidak menentu ini, umat mudah sekali dibodohi dan dizalimi oleh penguasa yang oportunis dan parahnya umat sekana tidak menyadai (atau mungkin menyadari tapi membiarkan) bahwa mereka dibodohi oleh setumpuk janji-janji kampanya yang ternyata hanya sebagai slogan-slogan untuk meraih kekuasaan.

Bab Ketiga
OTOKRITIK POLITIK ISLAM
Mengkaji Kembali Peran Politik Umat Islam

Dalam pembahasan bab terakhir ini editor membuat susunan sebagai berikut:
• Menggugat Teori Politik Islam Olivier Roy oleh Aay Muhammad Furqon
• Otikritik Politik Islam oleh Habib M. Rizieq Shihab
• Konstitusi Islam: Piagam Madinah dan Piagam Jakarta oleh Kholid O. Santosa
• Piagam Jakarta dan Cita-cita Negara Islam oleh Satya Arinanto
• Aceh dan Syariat Islam oleh Bachtiar Aly
• Ideologisasi Agama oleh Komarudin Hidayat
• Objektifikasi Islam oleh Bachtiar Effendi
• Islam dan Politik di Indonesia oleh Ahmad Syafii Maarif
• Civil Islam: Masa Depan Demokrasi Indonesia oleh Azzumardi Azra

Secara umum bagian ini lebih pada pembahasan tentang bagaimana politik islam selanjutnya harus berjalan agar kedepannya perjuangan islam dapat meraih sasarannya.

Sumber Tulisan
Bagian ini merupakan keterangan menganai darimana editor mengumpulkan berbagai bahan tulisan untuk dibukukan.

Kelebihan Buku
Buku ini mengandung banyak sekali keterangan maupun fakta-fakta yang yang menjelaskan bagaimana islam ini ternyata memiliki peranan yang sangat besar dalams ejarah perjuangan bangsa Indonesia. Naik ketika era revolusi, danam masa pembangunan maupn masa kini.
Lalu bahasan yang dikemukakan sangat lugas dan mengena sehingga dapat mempengaruhi jalan pikiran pembaca (setidaknya bagai peresensi).

Kelemahan Buku
Cenderung kepada penilaian umat islam dalam pikiran sudut pandang umat sebagai objek yang tertindas dan tidak membuat pembandingnya, misalnya tulisan dari tokoh pemerintah sehingga pembaca dengan sendirinya bias melakukan komparasi agrumen tentang mana yang memang lebih kuat pendapatnya.
Selain itu, menurut persensi, editor cenderung menyudutkan salah satu ormas islam sebagai bagian yang selalu menjadi kuda tunggangan dan memihak kepada salah satu ormas islam tanpa memaparkan bagaimana situasi politik ormas-ormas islam lainnya. Atau setidaknya menyuguhkan berbagai tulisan yang dihimpun dari pendapat orang-orang ebrbagai ormas sehingga sekali lagi bisa digunakan sebagai komparasi pendapat.

0 komentar:

Posting Komentar