Soal penegakkan syari'at Islam, perlu kita pahami dulu apa
hakekatnya. Karena istilah ini telah mengalami distorsi luarbiasa dalam
perspektif politik Indonesia. (halaman. 108)
Distorsi pertama, orang selalu menganggap bahwa syari'at
Islam itu adalah aspek hukum dari Islam dan secara khusus aspek hukum itu
adalah hukum pidana. Padahal siapapun yang mempelajari dengan baik
masalah-masalah hukum dalam Islam, akan menemukan fakta bahwa dari 6666 ayat al
Qur'an, menurut Imam as Suyuthi, hanya sekitar 500 ayat yang berkaitan dengan
hukum. Jika kita lihat hukum pidana dalam Islam, itu hanya terkait dengan 5
poin saja: berzina, mencuri, dan lain-lain. Berbeda dengan hukum positif,
berzina tidak dimasukkan dalam aspek pidana kecuali pemerkosaan. (halaman.
108-109)
Penerapan hukum ini tidak mungkin terjadi kecuali masyarakat
itu sudah menjadi baik. Oleh karena itu menurut Ibn Khaldun, "Negara hanya
diperlukan kalau jumlah orang jahat itu masih banyak." Kalau semua masyarakat
sudah baik pada umumnya, maka negara itu tidak diperlukan. Jadi buat apa orang
shalih kita atur-atur. (halaman. 109)
Kalau kita bahas tentang distorsi, distorsi tentang syari'at
ini lebih parah lagi, orang mempersempitnya begitu saja. Sekarang kalau
misalnya semua orang tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh. Tapi semua
miskin, tidak bisa makan, dan tidak punya lapangan kerja. Dalam kondisi seperti
itu, saya tidak dapat membayangkan kalau ada deklarasi negara Republik Islam
Indonesia. (halaman. 109)
Setelah 10 tahun berkuasa di Madinah, Rasulullah tidak
memberi nama Madinah sebagai negara Islam. Sebab jauh lebih penting
meningkatkan kualitas hidup umat. Menurut saya, hal ini tidak perlu ada
pemisahan lagi. Faktanya 90% yang hidup di atas tanah Indonesia ini adalah
muslim, yang tidak perlu lagi memisahkan identitas: Saya sebagai muslim dan
saya sebagai orang Indonesia. Tidak perlu. Karena kita adalah bangsa Indonesia dan saya muslim. Titik. Nama
negaranya cukup seperti itu: Republik Indonesia. (halaman. 109-110)
Dalam al Qur'an itu ada 114 surat. Surat Madaniyah yang
sebagian besarnya itu berbicara tentang hukum hanya 28 surat dari 114 surat.
Artinya menerapkan hukum itu jauh lebih mudah, apabila masyarakat sudah siap.
(halaman. 111)
Berbicara tentang Islam, mengomunikasikannya secara de fakco
lebih mudah, daripada mengomunikasikannya secara teori. (halaman. 112)
Dulu pada zaman Rasulullah, sebaik-baiknya kurun, siapa
menteri keuangannya pada masa itu? Siapa bendaharanya di zaman itu? Tidak ada
yang namanya bendahara. Tidak ada yang namanya kas negara, karena semua uang
yang masuk habis terbagi. (halaman. 113-114)
Yang namanya baitul maal itu baru ada di zaman Umar bin
Khaththab. Hal ini ada karena setelah harta rampasan perang dibagi, saldonya
masih banyak. Jadi orang ini berpikir bagaimana caranya untuk menyimpan saldo
ini. Akhirnya mereka mencari ide tentang baitul maal, itu bukan dari Islam tapi
berasal dari Persia. Waktu perang melawan Persia mereka melihat ada
gudang-gudang tempat penyimpanan harta benda. Itu yang dimaksud dengan baitul
maal. (Halaman. 114)
Oleh karena itu, saya lebih tertarik pada bagaimana kita
meningkatkan leverage (pengaruh) kita sebagai umat dan leverage untuk memimpin
orang. (halaman. 114)
[Seri Pemikiran Anis Matta: Integrasi Politik dan Dakwah,
terbitan DPP Bidang Arsip dan Sejarah, tahun 2007]
0 komentar:
Posting Komentar
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.