Oleh: HD Gumilang
Alhamdulillah referendum saudara-saudara kita di Mesir sana yang dimotori oleh Ikhwanul Muslimin, Salafy, dan komponen jumhur harakah Islam dimenangkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Konstitusi baru yang menyerap intisari nilai-nilai Islam yang mulia akan diberlakukan di sana. Semoga proses demokrasi Islam di Mesir diberkahi Allah dan menjadi contoh bagi negara-negara lainnya.
Kami tidak menilai demokrasi sebagai sesuatu yang halal ataupun haram, bagi kami demokrasi hanyalah alat/alas/wasilah untuk memformulasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat yang madani sebagaimana Rasulullah kala itu memformulasikan nilai-nilai Islam dalam Piagam Madinah yang monumental mampu merekatkan hubungan sosial/aspek muamalah antara pemeluk Islam, dan kaum Yahudi serta Kristen yang condong pada perdamaian.
Sungguh inilah kemuliaan Islam rahmatan lil alamiin dan inilah tanda kemuliaan umat Islam sebagai umatan washatan, umat pertengahan yang tidak ghuluw (berlebih-lebihan) dalam berbagai hal.
Satu catatan yang menarik bagi para penentang Muhammad Mursy yaitu Kaum Muslim Ambigu yang sampai detik ini masih kuat pendiriannya bahwa apa yang dilakukan oleh Mursy adalah suatu kesia-siaan belaka karena menurut mereka bukan Syariat Islam yang dikonstitusikan di Mesir melainkan syariat demokrasi sekuler.
Sungguh menurut saya, ini adalah keanehan Kaum Muslim Ambigu yang menyatakan berlepas diri dari referendum antara konstitusi baru yang memformulasikan nilai-nilai Islam dengan oposisi yang menolak referendum. Di manakah izzah kaum muslim ambigu ketika saudaranya sedang memperjuangkan satu tahapan dakwah?
Tidakkah mereka bercermin bahwa Rasulullah kala itu pun memformulasikan nilai-nilai Islam yang mulia dalam Piagam Madinah untuk upayanya menunjukkan Islam rahmatan lil alamiin kepada seluruh suku bangsa yang menghuni City State (Negara Kota) Madinah Munawarah.
Lantas syariat Islam yang bagaimana yang dikehendaki oleh Kaum Muslim Ambigu ini? Apakah mereka merujuk pada Piagam Madinah buah pemikiran Rasulullah Muhammad Shallahu alaihi wasalaam atas petunjuk langsung dari Allah subhanahu wa ta'ala ataukah mereka merujuk pada Konstitusi Hukum Islam pasca Rasulullah saw? Tanyakanlah kepada manusia, manakah yang lebih baik antara Piagam Madinah dengan Konstitusi Hukum Islam pasca Rasulullah.
Sungguh sebenarnya di sini tidak melihat kacamata kuda. Sejarah telah mencatat penghianatan kaum Yahudi dan Kristen pada masa Rasulullah dalam Perang Ahzab. Apakah ini berarti Piagam Madinah bukan konstitusi yang sempurna padahal yang menggagasnya adalah Rasulullah Muhammad saw? Tidak, bukan itu. Sudah jelas bahwa peristiwa dalam sejarah tidak bisa menjadi dasar hukum baik atau tidaknya sebuah produk pemikiran.
Di sinilah Allah menganjurkan kita untuk berfikir, karena kita (Insya Allah) adalah ulil albab, makhluk yang berfikir. Kita berfikir bagaimana caranya mempersatukan umat Islam, bagaimana cara mendakwahkan Islam secara sejuk, damai, dan mententramkan. Kita berfikir bagaimana caranya agar Islam itu menjadi rahmatan lil alamiin sebagaimana yang sudah pernah di contohkan oleh Rasulullah saw di City State Madinah Munawarah, atau Umar bin Abdul Aziz di Kingdom (Kerajaan/Kekhalifahan) Umayyah, atau ketika masa Sulayman al Qanuni di Kingdom (Kerajaan/Kekhalifahan) Turki Usmani membuat Qanun Hukum Islam, atau di masa penakhlukan Muhammad al Fatih (Sang Penakhluk), dan mungkin di masa kini ketika Presiden Muhammad Mursy diamanahkan memimpin Nation State (Negara) Mesir yang diantarkannya ke era baru yaitu era Konstitusi Mesir yang kental dengan nilai-nilai Islam. Kemudian semoga bisa menjadi contoh negeri-negeri muslim lainnya. Hingga pada akhirnya negeri-negeri muslim ini menjadi pionir tegaknya sebuah sokoguru peradaban Islam yang mulia atau al ustadziatul alaam.
Jumat, 28 Desember 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar