Oleh:
HD Gumilang*
Diterbitkan
pada harian Radar Cianjur, Senin 23 Maret 2013/ 13 Jumadil Awal 1434 H
Negara Madinah, adalah
pemerintahan yang digagas oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Negara Madinah
bukan hanya merupakan negara Islam, melainkan menjadi sebuah negara yang
menaungi heterogenitas agama bagi pemeluk-pemeluknya yang menjadi warga negara
Madinah [Islam, Nasrani, dan Yahudi]. Agama tidak membutuhkan negara karena
Agama akan senatiasa lestari dalam setiap kehidupan pemeluk-pemeluknya, tapi
negara-lah yang membutuhkan agama untuk me-moral-kan [membina akhlaq]
masyarakatnya. Sungguh kelam jika sebuah negara tanpa agama, maka akan
tergambarkan sifat barbar yang tidak manusiawi.
Prinsip-prinsip Islam yang mulia
tertuang jelas yang diformulasikan dalam Piagam Madinah. Demikian juga syura
[musyawarah] dijunjung tinggi dalam upayanya menggali ketentuan hukum yang
berhubungan dengan interaksi sosial masyarakat. Hukum Islam berlaku bagi
pemeluk-pemeluknya, kaum muslimin. Begitupun pemeluk agama lain, mereka bebas
menjalankan ritual keagamaan sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya, tidak
ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Semua masyarakat hidup dalam naungan
ke-universal-an ajaran Islam bagi semesta alam. Toleransi dijaga, sehingga
tidak saling mengganggu karena mereka semua cenderung kepada perdamaian.
Sedangkan bagi para penganggu, tidak ada tempat bagi mereka selain harus di
usir dari negara Madinah. Hingga pada akhirnya, atas kehendak Allah -sampai
hari ini-, Madinah [bersama Makkah] menjadi dua kota yang terlarang dimasuki
oleh non muslim. Lantas apakah dengan begitu hidup negara Madinah menjadi semu?
Lantas dengan terusirnya kaum non-muslim itu menandakan Islam membenci mereka
yang di usir? Tentu saja tidak seperti itu. Islam cinta damai. Islam tidak akan
memerangi mereka -non muslim- yang cenderung pada perdamaian. Islam hanya
memerangi mereka -non muslim- yang memerangi agama Islam. Dan itulah kenyataan
sejarah yang terjadi dalam perang Khandaq ketika pasukan multinasional
[Quraisy, Yahudi, dan Nasrani] mengepung Madinah dengan tujuan memerangi Islam.
Kemudian, ketika baginda
tercinta, Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wasallam wafat, meninggalkan
umat di tangan pengganti-penggantinya.
Atas kesepakatan bersama [secara
aklamasi] lewat usul sahabat Umar bin Khaththab al Faruq ra., diangkatlah
sahabat Abu bakar as shiddiq ra., sebagai penerus kepemimpinan umat Islam
khususnya dan warga negara Madinah pada umumnya. Maka, dimulailah kepemimpinan
khulafaur rasyidin. Sebuah periode dimana masih dihayatinya jiwa kenabian. Abu
Bakar disebut sebagai khalifah: pemimpin pengganti Rasulullah.
Lalu, ketika Abu bakar wafat,
ditunjuklah oleh sahabat terbaik Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ini seorang
yang memiliki kepribadian keras dalam agama namun lemah lembut dalam ukhuwah,
Umar bin Khaththab. Di masa inilah, syiar dakwah Islam mulai menyinari jazirah
Arab. Negara Madinah mulai meluas. Tidak lagi hanya menaungi umat Islam, namun
juga umat agama lain sebagaimana dahulu Rasulullah contohkan dalam tata Negara
Madinah, ketika Islam menjadi rahmat bagi semesta alam. Umar menolak sebutan
Khalifah bagi dirinya, dia menyebut dirinya sebagai Amirul Mukminin: pemimpin
kaum muslimin.
Peristiwa penikaman Umar ketika
selesai shalat, menandakan fase yang dinamakan konspirasi sejarah. Kebencian
sebagian orang yang telah membatu hatinya menimbulkan riak-riak kegaduhan
politik. Menjelang detik-detik wafatnya, Umar menolak untuk menunjuk siapa
khalifah penggantinya walapun dulu beliau ditunjuk langsung oleh Abu Bakar. Hal
ini mengisyaratkan bahwa pemilihan seorang pemimpin tidaklah kaku melainkan ada
ijtihad untuk meng-inovasi-kannya sesuai dengan keadaan zaman. Umar bahkan
mewasiatkan agar putranya, Abdullah bin Umar ra., dan adik iparnya yaitu Said
bin Zaid tidak diberikan jabatan apapun karena, "Dia masih keluarga
Umar." Sebuah keteladanan politik yang agung dalam mencegah munculnya
suatu dinasti politik.
Maka, dikumpulkanlah enam orang
yang telah diridhai Rasulullah shallahu alaihi wasallam ketika hidupnya: Utsman
bin Affan ra., Ali bin Abi Thalib ra., Thalhah bin Ubaidillah ra., Azzubair bin
Awwam ra., Sa'ad bin Abi Waqqash ra., dan Abdurrahman bin Auf ra,. Hingga
akhirnya dalam mekanisme syura [musyarawah] tersebut terpilihlah Utsman bin
Affan Dzunnurain untuk menjadi kepala Negara memimpin umat dan menandakan
sebuah zaman baru ketika jiwa kenabian masih dihayati namun di waktu yang sama
kehidupan umat Islam di Negara Madinah telah semakin luas interaksi, adat istiadat,
kebudayaan, dengan Negara-negara lainnya. Pengaruh zaman itu adalah, interaksi
dengan era Imperium Kerajaan yaitu Romawi dan Persia. Maka, diplomasi politik
menjadi sesuatu yang lazim dalam pemerintahan ini.
Namun, kepemimpinan Utsman
rupanya ada sebagian kalangan yang tidak setuju, maka turunlah mereka ke jalan -para
oposisi utsman-, mereka melakukan demonstrasi dengan tuduhan, “Utsman membakar
mushaf, tidak mengqashar shalat di Makkah, mengkhususkan sumber air untuk
kepentingannya sendiri, mengangkat para pemuda sebagai pejabat, mengutamakan
bani Umayyah dalam fasilitas pada pemerintahannya,” meskipun Ali bin Abi Thalib
membela mati-matian Utsman, tetap saja para demonstran itu menyerukan
tuntutan-tuntutannya.
Ali menyarankan Utsman melakukan
komunikasi politik dengan rakyat. Maka diselenggarakanlah rapat akbar sesuai
saran Ali di mana Utsman meminta maaf di hadapan rakyat yang dipimpinnya itu
ata segala perbuatannya dalam mengutamakan kedudukan keluarganya dan
mengemukakan alasannya. Sungguh sebuah tindakan yang arif dan bijaksana. Namun
ternyata, beberapa waktu setelah itu muncul black campaign berupa disebarkannya
selembaran-selembaran fitnah yang tujuannya menghasut rakyat agar melakukan
kudeta terhadap Utsman bahkan menuntut hamba Allah yang memperistri dua putri
Rasulullah ini untuk dibunuh. Naudzubillah.
Mereka menganiaya Utsman,
mengasingkan Utsman di rumahnya sampai pada waktu wafatnya. Innalillahi wa inna
ilaihi raji’un.
Ditengah huru-hara politik yang
memuncak itu, naiklah Ali bin Abi Thalib Kharamallahu Wajhahu atas desakan
rakyat. Keponakan Rasulullah ini menghadapi sebuah fase pemerintahan yang
sangat kritis dan sulit. Kegaduhan politik semakin rumit. Rakyat Irak, Syam,
Makkah, Madinah, dan negeri-negeri lain mulai terpecah belah karena isu-isu
yang simpang siur. Bahkan, para sahabat Rasulullah yang tersisa sampai terjebak
hasutan tersebut.
Manakala Ali diturunkan dari
kedudukannya sebagai kepala Negara, dan dinaikkannya Muawiyyah bin Abi Sofyan
sebagai kepala Negara, terlepas dari berbagai konstelasi politik yang terjadi
pada saat itu, diantaranya adalah naiknya Hasan sebagai pengganti Ali maka
periode kepemimpinan Muawiyyah menandakan sebuah fase baru dalam sejarah
ke-pemerintah-an Islam, yaitu fase Kerajaan.
*Penulis seorang peminat sejarah lulusan UIN Sunan Gunung Djati Bandung jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, tinggal di Tungturunan Ciranjang, Cianjur.
*Penulis seorang peminat sejarah lulusan UIN Sunan Gunung Djati Bandung jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, tinggal di Tungturunan Ciranjang, Cianjur.
0 komentar:
Posting Komentar