Bismillah, saya akan
mencoba menuliskan Ushul ‘Isyrin (dua puluh prinsip) guna memahami fikrah Islam
yang disusun oleh Hasan al Banna. Dua puluh prinsip ini bersumber dalam
penjelasan beliau mengenai al Fahm (pemahaman) dalam kitabnya Majmu’atur Rasail
edisi berbahasa Indonesia jilid pertama halaman 291-300.
1. Islam adalah sistem
yang syamil (menyeluruh), mencakup seluruh aspek kehidupan. Maka ia adalah
negara dan tanah air atau pemerintahan dan umat, moral dan kekuatan atau kasih
sayang dan keadilan, wawasan dan undang-undang atau ilmu pengetahuan dan hukum,
materi dan kekayaan alam atau penghasilan dan kekayaan, serta perjuangan dan
dakwah atau pasukan dan pemikiran. Sebagaimana juga ia adalah akidah yang murni
dan ibadah yang benar, tidak kurang tidak lebih.
2. Al Qur'an dan Sunnah
yang suci adalah rujukan setiap muslim dalam mengenali hukum-hukum Islam. Al
Qur'an harus dipahami sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, tanpa takalluf
(memaknakan suatu ayat hingga melampaui arti yang sewajarnya) dan ta'assuf
(serampangan). Sedangkan as Sunnah yang suci harus dipahami melalui para ahli
hadis yang terpercaya.
3. Keimanan yang murni,
ibadah yang benar, dan mujahadah (bersungguh-sungguh dalam beribadah) adalah
cahaya dan kelezatan yang Allah curahkan pada hati hamba-hamba-Nya yang Dia
kehendaki. Sementara ilham, lintasan pikiran, penemuan-penemuan ghaib (al
kasyf), dan mimpi, itu semua bukan termasuk sumber hukum syariat Islam. Maka
semua itu tidak perlu diperhatikan kecuali bila tidak bertentangan dengan
hukum-hukum agama dan teks-teksnya.
4. Jimat, jampi (ruqyah),
wada' (semacam keong yang dikalungkan di leher anak kecil sebagai jimat), ramal
(meramal nasib dengan membuat garis di pasir), perdukunan, mengaku tahu akan
hal-hal ghaib, dan semisalnya adalah kemungkaran yang wajib diberantas. Kecuali
jimat yang berasal dari ayat-ayat al Qur'an atau jampi yang diriwayatkan dari
Rasulullah saw.
5. Pendapat imam
(pimpinan) dan wakilnya tentang hal-hal yang tidak ada teks hukumnya, hal-hal
yang mengandung beragam interpretasi, dan hal-hal yang membawa kemaslahatan
umum (al maslahah al mursalah), harus diamalkan sepanjang tidak bertentangan
dengan kaidah-kaidah syariat. Pendapat tersebut mungkin akan berubah sejalan
dengan situasi, adat, atau tradisi.
Pada dasarnya ibadah
adalah kepatuhan total, tanpa mempertimbangkan makna-maknanya. Sedangkan adat
istiadat (urusan selain ibadah ritual) harus mempertimbangkan
rahasia-rahasianya, hikmah, maksud, dan tujuannya.
6. Setiap orang dapat
ditolak ucapannya, kecuali al Ma'shum (Rasulullah saw). Segala hal yang datang
dari para pendahulu -semoga mereka diridhai Allah- yang sesuai dengan al Qur'an
dan as Sunah kita terima. Bila tidak, maka al Qur'an dan as Sunah lebih utama
untuk diikuti. Namun demikian, kita tidak boleh mencaci maki dan
menjelek-jelekkan pribadi mereka dalam masalah-masalah yang masih
diperselisihkan, serahkan saja kepada niat mereka masing-masing. Sebab mereka
telah mendapatkan apa yang telah mereka kerjakan.
7. Setiap muslim yang
belum mencapai kemampuan telaah terhadap dalil-dalil hukum furu' (cabang),
hendaklah mengikuti salah satu imam (pemimpin agama).
Namun lebih baik lagi
kalau sikap mengikuti tersebut diiringi dengan upaya semampunya dalam memahami
dalil-dalil yang dipergunakan oleh imamnya, dan hendaklah ia mau menerima
setiap masukan yang disertai dalil, bila ia percaya pada keshalihan dan
kapasitas orang yang memberi masukan tersebut. Bila ia termasuk ahli ilmu, maka
hendaklah selalu berusaha menyempurnakan kekurangannya dalam keilmuan, sehingga
dapat mencapai derajat penelaah (mujtahid).
8. Perbedaan paham dalam
masalah-masalah furu' (cabang). hendaklah tidak menjadi faktor perpecahan dalam
agama, tidak menyebabkan permusuhan, dan tidak juga kebencian, setiap mujtahid
akan mendapatkan pahala masing-masing. Tidak ada larangan melakukan studi
ilmiah yang jujur dalam persoalan-persoalan khilafiyah (masalah-masalah fiqh
yang masih diperselisihkan oleh para ulama), dalam suasana saling mencintai
karena Allah dan tolong menolong untuk mencapai kebernaran yang sebenarnya.
Studi tersebut tidak boleh menyeret pada debat yang tercela dan fanatik buta.
9. Memperdalam pembahasan
tentang masalah-masalah yang amal tidak dibangun di atasnya (tidak menghasilkan
amal nyata) adalah sikap takalluf (memaksakan diri) yang dilarang Islam. Misalnya memperluas pembahasan tentang
berbagai hukum bagi masalah-masalah yang tidak benar-benar terjadi,
memperbincangkan makna ayat-ayat al Qur'an yang belum dijangkau oleh ilmu
pengetahuan, perdebatan dalam membandingkan keutamaan sahabat ra, atau
memperbincangkan perselisihan yang terjadi di antara mereka. Masing-masing
memiliki keutamaan sebagai sahabat Nabi saw, dan pahala dari niat mereka.
Sedangkan mentakwil perselisihan mereka dapat menghindarkan diri dari dosa.
10. Ma'rifah (mengenal)
Allah tabaraka wa ta'ala, meng-Esakan-Nya, dan me-Mahasucikan Dia adalah
setinggi-tingginya tingkatan akidah Islam. Sedangkan ayat-ayat dan hadis-hadis
shahih tentang sifat-sifat Allah adalah termasuk mutasyabihat. Kita wajib
mengimaninya sebagaimana adanya, tanpa menta'wilkan dan tanpa pengingkaran
(ta'thil) serta tidak perlu memperuncing perbedaan pendapat di antara para
ulama tentang hal tersebut. Kita mencukupkan diri seperti apa yang dilakukan
oleh Rasulullah saw dan para wahabatnya, "Dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata, 'Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu
dari sisi Rabb kami,'" (Ali Imran: 7)
11. Segala bentuk bid'ah
dalam agama yang tidak mempunyai dasar pijakan, tetapi dianggap bagus oleh hawa
nafsu menusia, baik berupa penambahan maupun pengurangan, adalah kesesatan yang
wajib diperangi dan diberantas dengan menggunakan cara yang sebaik-baiknya,
yang tidak menimbulkan kejelekkan yang lebih parah.
12. Bid'ah idhafiyah
(amalan yang disyariatkan, tanpa ada keterangan tentang tata caranya, lalu
dilakukan dengan cara-cara tertentu), bid'ah tarkiyah (meninggalkan hal-hal
yang di halalkan oleh syariat untuk mendekatkan diri kepada Allah), dan iltizam
(menentukan waktu, tempat, dan jumlah bilangan) terhadap ibadah-ibadah yang
muthlaqah (ibadah yang tidak ditentukan waktu, tempat, dan bilangannya) adalah
masalah khilafiyah dalam bab fiqh. Masing-masing orang mempunyai pendapat dalam
masalah tersebut. Namun tidak mengapa jika dilakukan penelitian untuk sampai
pada hakikatnya dengan dalil dan argumentasi.
13. Mencintai orang-orang
shalih, menghormati mereka, dan memuji mereka karena amal-amal baik mereka yang
tampak adalah bagian dari taqarrub kepada Allah swt. Sedangkan para wali adalah
orang-orang yang disebut dalam firman Allah swt, "Yaitu orang-orang yang
beriman dan mereka itu bertakwa." Karamah yang sesuai dengan syarat-syarat
syariat itu benar adanya. Namun harus diyakini bahwa mereka (para wali) -semoga
Allah ridha pada mereka- tidak memiliki mudharat maupun manfaat bagi diri
mereka sendiri, baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal dunia, apalagi
bagi orang lain.
14. Ziarah kubur -kubur
siapa saja- adalah sunah yang disyariatkan dengan cara-cara yang diajarkan oleh
Rasulullah saw. Akan tetapi, meminta pertolongan kepada penghuni kubur,
-siapapun mereka- berdoa kepadanya, memohon pemenuhan hajat dari dekat maupun
dari jauh, bernazar untuknya, membangun kuburnya, menghiasinya, memberinya
penerangan, dan mengusapnya (untuk mengalap berkah), juga bersumpah dengan
selain Allah swt dan segala bid'ah yang serupa dengannya adalah dosa besar yang
wajib diperangi. Kitda tidak akan mencari-cari pembenaran terhadap
amalan-amalan tersebut, demi menutup pintu fitnah yang lebih parah lagi.
15. Berdoa kepada Allah
disertai tawassul (perantara) dengan salah satu makhluk-Nya adalah perbedaan
dalam masalah furu' tentang tata cara berdoa, bukan termasuk masalah akidah.
16. Tradisi yang salah
tidak dapat mengubah hakikat arti lafazh-lafazh dalam syariat. Kita harus
mengkaji lafazh-lafazh syariat sesuai makna yang dikandungnya dan mencukupkan
diri dengannya. Sebagaimana kita juga wajib berhati-hati terhadap berbagai
istilah yang menipu dalam pembahasan masalah-masalah dunia dan agama. Ibrah
(yang dijadikan patokan) itu ada pada esensi di balik suatu nama, bukan pada
nama itu sendiri.
17. Akidah adalah asas
bagi aktivitas, amal hati itu lebih penting daripada amal anggota badan. Namun
upaya mencapai kesempurnaan pada kedua hal tersebut merupakan tuntutan syariat,
meskipun kadar tuntutan masing-masing berbeda.
18. Islam itu membebaskan
akal pikiran, menganjurkan untuk melakukan penelitian pada alam, mengangkat
derajat ilmu dan para ulama, dan menyambut kehadiran segala sesuatu yang baik
dan bermanfaat. "Hikmah adalah barang hilang milik orang yang beriman. Di
manapun didapatkan, ia adalah orang yang paling berhak atasnya."
19. Pandangan syar'i dan
pandangan logika memiliki wilayah sendiri-sendiri yang tidak dapat saling
memasuki secara sempurna. Namun demikian, keduanya tidak akan pernah berbeda
dalam hal-hal yang qath'i (absolut). Hakikat ilmiah yang benar tidak mungkin
bertentangan dengan kaidah syariat yang shahih. Sesuatu yang masih bersifat
zhanni (interpretable), harus ditafsiri agar sejalan dengan qath'i. Bila
kedua-duanya bersifat zhanni, maka pandangan syariat lebih utama untuk diikuti,
sampai logika mendapatkan legalitas kebenarannya, atau gugur sama sekali.
20. Kita tidak
mengkafirkan seorang muslim yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat,
mengamalkan tuntutan-tuntutannya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya, baik
karena pendapatnya maupun kemaksiatannya, kecuali jika ia mengatakan kata-kata
kufur, atau mengingkari sesuatu yang telah diakui sebagai asas dari agama, atau
mendustakan ayat-ayat al Qur'an yang sudah jelas maknanya, atau mentafsirkannya
dengan cara yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, atau melakukan suatu
perbuatan yang tidak mungkin diinterpretasikan kecuali kekufuran.
Alhamdulillah dua puluh
poin prinsip fikrah Islam sudah saya ketik (benar-benar saya ketik dengan
referensi dari Majmuaturrasail -Risalah Dakwah- tidak di salin tempet) selesai
bersamaan dengan shalat Ashar. Sahabatku, semoga bermanfaat dan bernilai
ibadah, aamiin ya rabb..
0 komentar:
Posting Komentar